Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengaruh Al Ghazali Terhadap Perkembangan Dunia Islam, Lengkap!

PENGARUH AL GHAZALI TERHADAP PERKEMBANGAN DUNIA ISLAM PENGARUH AL GHAZALI TERHADAP PERKEMBANGAN DUNIA ISLAM, Lengkap!
http://sejarahislamarab.blogspot.com
Terkait dengan imbas al ghazali terhadap perkembangan dunia islam. Samuel M. Zwemer mengatakan, ada empat orang yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad, Imam Bukhari sebagai pengumpul hadith yang paling masyhur, Imam Asy’ari sebagai teolog terbesar dan menantang rasionalisme [baca: aliran teologi al ra'yi], dan imam al ghazali  sebagai “reformer” dan sufi. Al ghazali seorang penyelamat tasawuf dari kehancuran yakni dengan mengintegrasikannya dengan fiqh dan kalam sehingga menjadi anutan Islam yang utuh serta telah meninggalkan imbas begitu luas atas sejarah Islam.
Bahkan selama ia masih hidup. Kuliah-kuliah al ghazali  dan karya-karyanya [baca: karya - karya imam al ghazali] diterima secara luas. Hal itu mengakibatkan ajaran-ajaran al ghazali   terkenal, ketika al Ghazali   masih hidup, di kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat. Sekalipun sudah hampir seribu tahun al ghazali   meninggalkan kita, namun ilmunya, tetesan kalam buah penanya mengekal abadi. Sampai kini masih sangat kuat lantaran diharapkan dan ditelaah oleh umat insan dari aneka macam bangsa dan agama.[1]
Tokoh al ghazali  yang menjadi fokus pembahasan menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran Islam lantaran kedalaman ilmunya [baca: biografi dan riwayat pendidikan al ghazali ], keorisinilan pemikirannya, dan kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Di samping mahir agama, pendidikan dan aturan Islam, ia juga mempunyai ilmu yang luas wacana filsafat, tasawuf, akhlak, dan masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia Islam ia amat kuat bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam memimpin mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil. Sampai kini pengaruh al ghazali   masih terus ada di seluruh dunia Islam.[2]
Di Timur al ghazali  mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan spiritual umat, sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam. Bukunya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn adanya bukti dari adanya perjuangan tersebut. Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari imbas negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam, dan aliran kebatinan. Dengan pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari pemujaan nalar atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah SWT, yaitu dalam arti aturan syariat menguasai nalar dan etika insan sehingga kebahagiaan sanggup dicapai. Berdasarkan keterangan di atas , maka tidak salah apabila orang menjuluki al ghazali   sebagai hujjat al-Islām (pembela agama Islam), Zain al-Dîn (permata agama Islam) dan Mujaddid (Pembaharu)
 Karena al ghazali telah menyatukan semula syariat, tasawuf dan tau­hid yang sudah terpisah-pisah. Gabungan tiga bidang ilmu yang dibentuk dalam Al Alquran dan Hadis oleh Allah dan Rasul terpecah-pecah dalam beberapa kurun kemudian. Lalu tang­gungjawab Allah dan Rasul-lah membetulkan semula ke­rusakan dengan cara menghantar orang-Nya selaku mujad­did.
Menurut Fazlur Rahman, al ghazali telah melaksanakan pembaharuan dalam tasawuf. Pembaharuan yang dilakuka yaitu mengintegrasikankesadaran tasawuf dengan syariat yang telah dimulai pada pertengahankedua masa ketiga hijriah dengan tokoh-tokoh menyerupai al-Kharraz dan al-Junaid dan gerakan ini mencapai puncaknya dibawa komando al-Ghazali yang selanjutnya sangat memilih perkembangan pemikiran Islam.[3]
Upaya al Ghazali mendamaikan antara tasawuf dan fikihi yang bercorak sunni menerima ambutan yang sangat baik dari masyarakat Islam, terbuktidengan menyebarnya tasawuf keberbagai tempat Islam dan menjamurnya tarekat diberbagai tempat Islam.[4] Dengan langkah perdamaian al Ghazali ini ketegangan antara fukaha dan sufi sanggup diredamkan dan semenjak ketika ituseorang tokoh teolog besar yaitu seorang sufi besar pula.
Awal munculnya pemikiran tasawuf al Ghazali sanggup dilihat dari dua faktor, pertama, faktor intern, yaitu segala potensi dan pengalamanyang ada pada al-Ghazali dan kedua, faktor eksteren, yaitu segala sesuatu yang ada diluar diri al-Ghazali yang sanggup mempengaruhi pemikirannya dalam tasawuf, dalam hal ini yaitu keadaan sosial politik yangberkembang pada masa itu. Pengetahuan secara teoritis wacana tasawuf telah dimiliki olehal Ghazali, yang semasa kanak-kanaknya telah mencar ilmu pada Yusufal-Nasaj (wafat 487 H) di Tus dan al-Farmadhi (wafat 477 H) diNisapur. Selain itu al Ghazali dikenal sebagai seorang yang cerdas, luas cakrawalanya, kuat hafalannya, jauh dari keraguan, sekaligus mendalam dalam memahami makna-makna secara jeli.[5] Ia juga seorang yang kritis, gemar menyelidiki sesuatu lantaran perilaku skeptisnya untuk melepaskandiri dari belenggu taklid.[6] Unsur-unsur kepribadian al Ghazali ini cukup untuk membekalinya dalam pencariannya terhadap hakekat kebenaran.
Di belahan barat dunia Islam, goresan pena al-Ghazālī   tidak saja mempengaruhi pemikir Islam menyerupai Ibn Rusyd, tetapi juga  mempengaruhi para pemikir Katolik dan Yahudi menyerupai Thomas Aquinas dan Blaise Puscal,[7] dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, banyak persamaannya dengan al-Ghazālī   dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak diperoleh dari nalar pikiran tetapi harus hati dan rasa.[8]
Al Ghazali juga sering disebut sebagai Pembuktian Islam, Hiasan keimanan, atau Pembaharu agama. Dalam buku berjudul Historiografi Islam Kontemporer disebutkan, seorang penulis berjulukan Al Subki dalam bukunya yang berjudul Thabaqat Al Shafiyya Al Kubra pernah menyatakan, “Seandainya ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad, maka manusianya yaitu Al Ghazali.” Hal ini memperlihatkan tingginya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki Al Ghazali.
Pengaruh Al Ghazali baik dalam bidang agama maupun ilmu pengetahuan memang sangat besar. Karya-karya maupun tulisannya tak pernah berhenti dibicarakan hingga ketika ini. Pengaruh pemikirannya tidak hanya meliputi wilayah di Timur Tengah tetapi juga negara-negara lain termasuk Indonesia dan negara barat lainnya. Para mahir filsafat barat lainnya menyerupai Rene Descartes, Clarke, Blaise Pascal, juga Spinoza juga mendapatkan banyak imbas dari pemikiran Al Ghazali
Kebanyakan orang-orang mengenal pemikiran Al Ghazali hanya dalam bidang teologi, fiqih, maupun sufisme. Padahal beliau merupakan seorang ilmuwan yang hebat dalam bidang ilmu biologi maupun kedokteran. Dia telah menyumbangkan pemikiran dan jasa yang besar dalam bidang kedokteran modern dengan menemukan sinoatrial node (nodus sinuatrial) yaitu jaringan alat pacu jantung yang terletak di atrium kanan jantung dan juga generator ritme sinus. Bentuknya berupa sekelompok sel yang terdapat pada dinding atrium kanan, di bersahabat pintu masuk vena kava superior. Sel-sel ini diubah myocytes jantung. Meskipun mereka mempunyai beberapa filamen kontraktil, mereka tidak kontraksi.
Penemuan sinoatrial node oleh Al Ghazali ini terlihat dalam karya-karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal, Ihya Ulum Al Din, dan Kimia Al-Sa'adat. Bahkan inovasi sinoatrial node oleh Al Ghazali ini jauh sebelum inovasi yang dilakukan oleh spesialis anatomi dan antropologi dari Skotlandia, A. Keith dan spesialis fisiologi dari Inggris MW Flack pada tahun 1907. Sinoartrial node ini oleh Al Ghazali disebut sebagai titik hati.
Dalam menjelaskan hati sebagi sentra pengetahuan intuisi dengan segala rahasianya, Al Ghazali selalu merumuskan hati sebagai mata batin atau disebut juga inner eye dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal yang diterjemahkn oleh C. Field menjadi Confession of Al Ghazali. Dia juga menyebut mata batin sebagai insting yang disebutnya sebagai cahaya Tuhan, mata hati, maupun bawah umur hati. Kalu titik hati Al Ghazali dibandingkan dengan sinoartrial node, maka akan terlihat bahwa titik hati gotong royong mempunyai korelasi erat dengan sinoartrial node. Dia menyebutkan bahwa titik hati tersebut tidak sanggup dilihat dengan alat-alat sensoris alasannya yaitu titik tersebut mikroskopis. Para mahir kedokteran modern juga menyatakan sinoartrial node juga bersifat mikroskopis.
Al Ghazali menyebutkan titik hati tersebut secara simbolis sebagai cahaya seketika yang membagi-bagikan cahaya Tuhan dan elektrik. Menurut gagasan modern, dalam satu detik, sebuah impuls elektrik yang berasal dari sinoartrial node mengalir ke bawah lewat dua atria dalam sebuah gelombang setinggi 1/10 milivolt sehingga otot-otot atrial sanggup melaksanakan kontraksi.Pada era modern ini para mahir anatomi menyatakan pembentukan tindakan secara potensial berasal dari hati, yaitu kontraksi jantung yang merupakan gerakan impulsif yang terjadi secara independen dalam suatu sistem syaraf. Dia juga menyatakan bahwa hati itu merdeka dari imbas otak dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal.
Para pemikir modern banyak yang mengatakan, suatu tindakan kadang terjadi melalui prosedur yang tak seorang pun tahu mengenainya. Namun Al Ghazali mengatakan, tindakan yang terjadi melalui prosedur yang tak diketahui tersebut gotong royong disebabkan oleh sinoartrial node. Dia juga menyatakan penguasa misterius badan yang gotong royong yaitu titik hati tersebut, bukanlah otak.
Al Ghazali tidak hanya menggambarkan dimensi fisik sinoartrial node tetapi beliau juga menggambarkan dimensi metafisik dari sinoartrial node. Hal ini jauh berbeda dengan pandangan para pemikir sekuler yang hanya bisa menggambarkan sinoartrial node secara fisik semata. Secara metafisik, Al Ghazali menggambarkan sinoartrial node sebagai sentra pengetahuan intuitif atau inspirasi ke-Tuhanan yang bisa berfungsi sebagi peralatan untuk memberikan pesan-pesan Tuhan kepada hambanya. Namun orang yang bisa memfungsikan sinoartrial node hanyalah orang yang telah mencapai penyucian diri sendiri atau orang yang sangat beriman kepada Allah SWT.
Dalam literature Barat, al Ghazali ditempatkan sejajar dengan St. Agustinus, filosof Katolik yang mengarang buku the city of god. Bahkan orientalis H.A.R. Gibb selain menempatkan al Ghazali sejajar dengan St. Agustinus, al-Ghazali juga disetarakan kedudukannya dengan Martin Luther, pembaharu agama Kristen.[9] Di Eropa Barat, Ghazali menerima perhatian besar, tak sedikit orang Barat yang menawarkan penghargaan kepadanya. Filosof asal Prancis Renan, Pujangga-pujangga Cassanova, Carra de Vaux, yaitu orang-orang yang kagum terhadap al-Ghazali.[10]
Masuknya imbas filsafat al Ghazali di benua Eropa tidak bisa dipisahkan dari adanya imbas filsafat Ibn Rusyd yang lebih dulu masuk eropa. Pada masa pertengahan, Eropa dikuasai gereja. Gereja yang mengatasnamakan “wakil Tuhan” bertindak tidak manusiawi dan mengekang rasio. Keadaan semacam ini membuat para ilmuwan Eropa menolak dominasi gereja. Alat yang digunakan para ilmuwan ketika itu yaitu filsafat Ibn Rusyd. Begitu hebatnya imbas Ibn Rusyd sampai-sampai di Eropa ada kelompok Averoesme. Ketika gejolak perkembangan Averoesme sedang menjalar di Eropa pada masa pertengahan, gereja memakai Tahafut al-Falasifah sebagai pembendungnya. Alexander Hales, seorang pendeta ternama, yaitu orang yang paling mashur dalam membelokkan Averoesme kepada filsafat al Ghazali. Bahkan Santo Thomas Aquines sebagai cowok Ibn Rusyd dalam beberapa kritiknya terhadap orang yang dipujanya tersebut tidak sedikit ia mendapatkan ide dari al Ghazali [baca: sejarah tasawuf amali].
Ketidakgentarannya dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf banyak pula mendatangkan kritikan dan kontradiksi di kalangan Mutakallimin, baik ketika al ghazali   masih hidup maupun setelah meninggalnya. Di Andalusia, seorang Qadhi dari Cordoba, Abu Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan karangan-karangan al ghazali  . Para Qadhi di Spanyol pada umumnya mendapatkan pengutukan itu, alhasil seluruh karya-karya al-Ghazālī   dibakar. Masyarakat dihentikan mempunyai karya-karya al ghazali   dengan ancaman sangsi eksekusi mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihya.[11]
Karya-karya al ghazali   pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash, Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin pada tempat tersebut yaitu seorang yang berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah Agama, mendapatkan saran dari ulama ortodoks yang mempunyai otoritas pada masa itu. Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan menganggap bahwa filsafat dan teologi keduanya sanggup merusak keyakinan, aqidah yang benar. Oleh lantaran itu, ia melarang beredarnya buku-buku al ghazali   dan mengeluarkan perintah supaya mengkremasi seluruh karya al ghazali  .[12]
Di antara pengeritik lainnya yaitu Ibnu Rusyd, salah seorang filosof Spanyol. Ia menganggap al-Ghazālī tidak konsisten dalam kepercayaan emanasi, ia juga  mengeritik karya-karya al-Ghazālī  khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan mengarang kita Tahāfut al- Tahāfut. Dia menganggap bahwa anutan al-Ghazali   kadang-kadang merusak syari’ah, terkadang merusak filsafat, terkadang merusak keduanya. Namun juga menguntungkan keduanya. Dan masih banyak pengeritik lainnya yang menawarkan perhatian khusus pada ajaran-ajaran al-Ghazali  .
Pada prinsipnya, al-Ghazali  tidak antipati terhadap filsafat. Sebab menurutnya, filsafat sama sekali tidak mempunyai korelasi dengan agama. al ghazali  termasuk pendukung skularisasi ilmu. Hanya saja, menurutnya tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang sanggup menjadikan imbas membahayakan (afat al-‘adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan anutan agama. Sebagaimana madzhab Dzahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan Thabi>’iyyun yang tidak mempercayai keberadaan dunia lain. Begitu juga anutan illa>hiyyun yang ditransfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang menyampaikan bahwa jasad tidak akan mendapatkan nikmat mapun siksaan, yang mendapatka jawaban di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga beropini bahwa alam bersifat qadim dan abadi.[13]
Kritikan yang tajam inilah yang sepertinya member donasi tersendiri dalam kemunduran kajian dan pemikiran filsafat dunia Islam khususnya di potongan Timur (ketika itu masuk dalam kekuasaan dinasti Abbassiyah). Sementara dibagian Barat dunia islam (wilayah dinasti Umayyah) pemikiran filsufis masih berkembang setelah serangan al-Ghazali. Beberapa tokoh filsuf kemudian berdiri melaksanakan kritikan balik kepada al-Ghazali. Salah satu diantarannya yaitu Ibn-Rusyd. Ia mengarang buku tahafut al-tahafut (hancurnya kehancuran) sebagai jawaban terhadap aneka macam kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali. Diantara tiga kritikan paling krusial dari al ghazali  terhadap kaum filsuf, Ibnu Rusyd member jawaban sebagai berikut :
  1. Ketika yang kuasa membuat alam bukannya dari suatu ketiadaan tetapi ketika itu telah ada sesuatu disamping-Nya yang berupa materi dasar sebagai materi penciptaan sebagaimana ditunjukan oleh surat Hud ayat 7 dan al-Anbiya> ayat 30. Materi asal itupun bukannya berasal dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh Tuhan. Disamping itu, kata khalaqa didalam al-Qur’a>n juga menggambarkan penciptaan bukan dari tiada tetapi dari ada (misalnya surat al-Mukminun ayat 12 wacana penciptaan manusia). Menurutnya tiada tidak bisa menjelma ada tetapi yang sempurna yaitu ada menjadi ada dalam bentuk lain. Sementara wacana keazalian alam yang dimaksud para filsuf yaitu merujuk pada pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman tak bermula dengan materi dasar yang telah ada disisi Tuhan hingga zaman tak berakhir (surat Ibrahim ayat 47-48)
  2. Mengenai pernyataan al ghazali  bahwa filsuf beropini Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd membantah bahwa pernah ada filsuf Islam yang menyampaikan demikian. Sebenarnya yang dibahas para filsuf yaitu wacana bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Ulasan wacana emanasi wujud diatas kiranya cukup menjelaskan dilema ini dari kacamata filsuf.
  3. Terkait dengan tuduhan bahwa Filsuf menentang anutan kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd menyampaikan bahwa Filsuf muslim tidak menyebutkan hal itu. Ibn Rusyd kemudian balik mengkritik inkonsistensi pemikiran al-Ghazālī  . Sebab, dalam Tahafut al-falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang beropini adanya kebangkitan rohani saja tetapi di dalam buku lainnya ia menyampaikan kalau dikalangan Sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah kebangkitan rohani. Dari sini Ibn Rusyd menilai bahwa al-Ghazālī  juga tidak mempunyai argument kuat untuk menkafirkan para filsuf.

Tidak usang setelah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Barat mengalami kemunduran besar di bidang pemikiran rasional dan ilmiah seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol. Sementara umat Islam di Timur, pemikiran keagamaan lebih dikuasai oleh teologi tradisional Asy’ariyyah dan tasawuf yang kurang member leluasa bagi pengembangan pemikiran rasional.
Walaupun Al ghazali dan pemikiran nya yang kontroversi dan berbeda dengan pendapat para ulama yang lain  dan hasil karyanya juga sering dikritik  tetapi tetap dihormati lantaran dalam islam tidak menutup kemungkinan beda pendapat atau pikiran sesama muslim dipandang sebagai kewajaran, beda pendapat tersebut tidak boleh diapresiasikan sebagai permusuhan. Karena hal ini menyangkut masalah ahlaq Islamiyah (etika dalam islam) dan etika intelektual muslim yakni perbedaan pendapat dan persepsi.
demikian dalam pembahasan imbas al ghazali terhadap perkembangan umat islam, semoga bermanfaat.




[1]  Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazālī, diterjemahkan oleh Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000),225.
[2] Yahya Jaya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Cet. I; Jakarta Rahama, 1994), h. 12-13.
[3] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 202.
[4] Nourouzzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996), hlm. 55.
[5] Al-Subki,Tabaqah al-Syafi’iyah,Jilid iv (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978),103
[6] al-Ghazali, al-Munkid,. 47.
[7] Ibid., h. 14.
[8] Poerwantama, dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam (Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),  168.
[9] M. Natsir. Kebudayaan Islam; Dalam Presfektif Sejarah, Editor, Endang Saefudin Anshari, Grimukti Pusaka. Jakarta, 1988, 175
[10] Yunasril Ali,. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1991, Cet. I, 70, lihat juga Hasyimsah Nasution, hal. 126-128

[11] Margareth Smith, 226.
[12] Ibid,227.
[13] Ibid., 105.