Kondisi Sosial Arab Pra Islam, Lengkap!
http://sejarahislamarab.blogspot.com |
Dalam mencar ilmu sejarah islam kali ini. saya akan menjelaskan wacana kondisi sosial arab pra islam alasannya sebelum membahas [baca: sejarah hidup nabi muhammad saw ] kita terlebih dahulu membahas wacana kondisi sosial sebelum islam. Sistem sosial masyarakat Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, jikalau pria dengan bin, kalau anak wanita dengan binti. Orang Arab akan besar hati dengan rentetan nama dibelakangnya alasannya membuktikan kabilah dan suku bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati[1].
Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari salah satu warga besar lengan berkuasa yang disebut syaikh. Syarat seorang Syaikh biasanya beliau harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf, dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya beliau juga harus adil didalam mengambil keputusan[2].
Sebagian besar tempat Arab yakni tempat gersang dan tandus, kecuali tempat Yaman yang populer subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan menerima laba dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan.
Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di tempat itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti cita-cita hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang mencakup negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.
Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara menyerupai yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menimbulkan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan gotong royong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga masuk akal saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah.
Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal alasannya masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu.
Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah kemudian di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, hingga kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak memiliki kebudayaan sama-sekali[3].
Sebagai kemudian lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan sentra perdagangan di Jazirah Arab, baik alasannya meluasnya dampak perdagangannya ke Persia danBizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau alasannya pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab alasannya begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan.
Mekah merupakan sentra peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran menyerupai ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada semenjak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang memiliki hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang memiliki hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang bekerjasama dengan majemuk penjuru.
Fakta di atas mengatakan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan biar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang sempurna untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang mengakibatkan minimnya moralitas, dan peradaban yang hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik[4].
Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, menyerupai bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah.
Memang duduk perkara apakah orang Arab sanggup menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut mengatakan adanya orang yang sanggup mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam tiba tradisi ini tetap ada.
Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka menciptakan seindah mungkin kalimat Arab yang mengatakan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, alasannya mustahil suatu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa[5].
Mungkin itu sedikit pembahasan terkait dengan kondisi sosial arab pra islam. untuk menambah wawasan [baca: strategi dan pengembangan dakwah nabi muhammad saw]
[1] Abu Su’ud, ibid, hlm. 15
[2] Ira M. Lapidus, Ibid, hlm. 19
[3] Abu Su’ud, Ibid, hlm. 16, lihat juga Marshall G. S. Hodgson, Ibid, hlm. 212, ali Mufrodi, Ibid, hlm 5-6, bandingkan dengan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah..Ibid, hlm 114
[4] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, Ibid, hlm. 9, lihat juga, http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid, Muhammad Quthb, Ibid, hlm. 63
[5] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Ibid, hlm. 12