Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah, Lengkap!
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah - merupakan pelajaran bagi kita untuk mengetahu forum pendidikan islam sebelum adanya madrasah secara formal. Karena sejarah mencatat bahwa peradaban islam pernah besar diakibatkan oleh para pemikir islam yang namanya hingga sekarang terus di kenal. Sebelum munculnya madrasah sebagai forum pendidikan formal, tolong-menolong telah terlebih dahulu berkembang forum pandidikan non formal. Bahkan lembaga-lembaga tersebut ketika ini masih banyak kita jumpai. Di antara lembaga-laembaga pendidikan Islam non formal itu adalah:
http://sejarahislamarab.blogspot.com |
7 Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah
a. Masjid
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah pertama ialah masjid, Semenjak berdirinya di zaman nabi Muhammad masjid telah menjadi sentra acara dan informasi aneka macam duduk masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Sebagai forum pendidikan, masjid pada awal perkembangannya digunakan sebagai sarana dan penyampaian keyakinan pedoman Islam[1]
b. Shuffah
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah Shuffah. Pada masa Rasulullah, shuffah merupakan suatu daerah yang telah digunakan untuk aktifitas pendidikan. Biasanya daerah ini menyediakan pemondokan bagi pendatang gres dan mereka yang tergolong miskin. Di sini para siswa (sahabat) diajarkan membaca dan menghafal al-Qur’an secara benar dan hokum Islamdi bawah bimbingan nabi secara langsung. Pada masa itu setidaknya ada Sembilan shuffah yang tersebar di kota madinah. Rasulullah mengangkat ‘Ubaid ibn al-Samit pada shuffah di madinah.[2]
c. Kutta>b
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah kuttab. Kutta>b atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Sebelum Islam datang, Kutta>b ini sudah dikenal meskipun terbatas dari golongan tertentu saja. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula berguru baca tulis adalah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syam dan Abu Qais ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah ibnu Kilat. Keduanya mempalajarinya di negeri Hirah.[3] Karena masih sedikitnya penduduk Makkah yang menguasai baca tulis, maka berdasarkan Shalabi, yang menjadi pengajar dalam kuttab ini seringkali kaum zimmi.
Di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan. Materi yang diajarkan ialah menulis dan membaca syair yang populer pada masanya. Sementara penulisan al-Qur’an tidak diajarkan di sini, lantaran kebanyakan pengajar ialah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa al-Qur’an dihentikan dipermainkan oleh belum dewasa dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu al-Qur’an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja.[4]
Kepandaian baca tulis dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, yaitu semenjak nama nabi Muhammad digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada dunia di luar Arab serta dalam menuliskan perjanjian-perjanjian. Karena kepentingan inilah maka Kutta>b sebagai tempat belajar menulis dan membaca semakin berkambang pesat.
Perubahan terjadi di final kala pertama hijriyah, di mana dalam Kutta>b ini telah diberikan juga materi al-Qur’an dan pokok-pokok pedoman agama, menyerupai pokok-pokok nahwu dan shorrof. Pada mulanya Kutta>b jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun dengan adanya kekhawatiran bahwa belum dewasa tidak sanggup menjaga kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat-tempat khusus di samping masjid yang juga berfungsi untuk berguru baca tulis, al-Qur’an serta pokok-pokok pedoman Islam.[5] Bahkan berdasarkan George Makdisi, dalam Kuttab juga dipelajari pendidikan yang lebih tinggi lagi, ysitu pembelajaran untuk spesialisasi keilmuan menyerupai berguru Fiqih[6]
Selain itu dikatakan oleh Ibnu Khaldun, bahwa daerah pembelajaran bagi murid perempuan di kuttab tersebut dipisahkan dari laki-laki. Namun kepergian belum dewasa wanita ke kuttab itu sendiri sering tidak disukai oleh sebagian ulama lantaran dikhawatirkan sanggup menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan.[7]
d. Halaqah
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah halaqah di masjid. Pendidikan masjid berlangsung dalam sistem halaqah (lingkaran). Artinya, daerah duduk para murid dalam proses berguru mengajar ialah berbentuk lingkaran, yaitu mereka melingkari gurunya. Biasanya seorang guru duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memperlihatkan komentar atas karya pemikiran orang lain. Meskipun tidak ada batasan resmi, namun rata-rata dalam sebuah halaqah terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui sebuah seleksi.[8]
Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh lantaran itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam forum pendidikan yang tebuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Mengikuti halaqah tidak mengandung suatu implikasi keterkaitan dengan halaqah tersebut atau dengan syaikhnya serta halaqah ini memperlihatkan kebebasan akademis. Dilihat dari segi ini, halaqah sanggup dikategorikan ke dalam forum pendidikan tingkat lanjutan lantaran sudah mulai mebedah duduk masalah pemikiran orang lain.[9]
Kegiatan pembelajaran di halaqah dimulai dengan doa singkat yang dibaca oleh syaikh dilanjutkan dengan memperlihatkan komentar umum wacana topik bahasan dengan mengaitkan topik tersebut pada materi yang telah diberikan sebelumnya. Dalam materi tertentu metode imla'[10] juga digunakan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan klarifikasi pada materi yang telah didiktekan, di mana uraian materi ini didasarkan pada tingkat pemahaman para murid. Akhir dari acara halaqah ialah investigasi catatan yang dilakukan oleh syaikh sehingga dimungkinkan syaikh tersebut dapat memberikan perhatian secara individu. Selain itu juga diadakan sesi tanya jawab di mana dalam sesi tersebut tidak ada larangan bagi seorang murid untuk berbeda pendapat dengan syaikhnya. Jika seorang syaikh berhalangan, biar pembelajaran tidak terganggu maka dia mengangkat seorang naib untuk menggantikannya. Jika syaikh wafat maka naib ini akan ditugasi untuk mengajar hingga syaikh yang gres diangkat. Dalam mengajar, seorang syaikh dibantu oleh seorang mu'id atau mufid. Mu’id merupakan murid senior yang bertugas untuk mengulas kembali materi yang telah diberikan oleh syaikh di luar pembelajaran beserta temen-temannya. Sedangkan mufid bertugas untuk membantu murid pemula dalam belajar. Secara hierarkis tingkatan pengetahuan mufid masih berada di bawah mu’id.[11]
e. Pendidikan Rendah di Istana
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah pendidikan rendah di istanah. Adanya pendidikan rendah di istana didasari oleh kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak semenjak kecil biar mereka sanggup melaksanakan tugasnya sehabis sampaumur nanti. Atas dasar kesadaran tersebut para khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana mendatangkan guru-guru khusus yang ditugasi untuk mengajar belum dewasa mereka.[12]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi berdasarkan kehendak para pembesar istana, dan selaras dengan harapan istana yaitu untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan kelak.[13]
f. Toko-Toko Buku
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah toko - toko buku. Pada permulaan Daulah Bani Abassiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islamtelah berkembang pesat yang diikuti oleh penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu, maka berdirilah toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut umumnya bukan sekedar para pedagang, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas yang menentukan profesi tersebut biar sanggup membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan. Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai daerah berjual beli buku, akan tetapi juga berfungsi sebagai daerah bertemunya para ilmuwan untuk berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah.[14]
g. Majlis
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah majlis. Istilah majlis telah digunakan dalam pendidikan semenjak kala pertama Islam. Mulanya ia merujuk kepada arti tempat-tempat pelaksanaan berguru mengajar. Majlis ini bermula semenjak zaman Khulafa>’ al-Ra>syidu>n yang digunakan untuk memperlihatkan fatwa, musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan duduk masalah yang dihadapi pada masa itu. Awalnya pertemuan majlis ini diadakan di masjid, namun semenjak khalifah Bani Umayyah daerah tersebut dipindahkan ke istana.[15]
Pada masa Khalifah Ha>ru>n al-Rasyi>d (170-193 H), majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa lantaran Khalifah sendiri sangat menyayangi ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya. Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar andal syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta sayembara di antara andal kesenian dan pujangga.[16]
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai acara transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Di antaranya ada majlis hadith, majlis tadris, majlis munadzarah, majlis muzakarah, majlis syu’ara>’ majlis adab, dan majlis al-fatwa dan al-nazar.[17]
h. Badi>’ah
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah ialah Badi'ah. Merupakan padang pasir di pedalaman yang ditinggali oleh orang-orang Badwi. Sejak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab sering digunakan oleh bangsa luar Arab yang beragama Islamsehingga bahasa Arab berkembang luas. Hal ini menjadikan keaslian bahasa Arab semakin usang semakin luntur lantaran bercampur dengan kaidah bahasa lain.
Namun tidak demikian halnya di badi>’ah-badi’a>h, mereka tetap mempertahankan kemurnian dan keaslian bahasa Arab. Oleh lantaran itu, badi>’ah-badi>’ah ini menjadi sentra untuk pelajaran bahasa Arab yang orisinil dan murni. Sehingga banyak belum dewasa khalifah, ulama-ulama dan para andal ilmu pengetahuan pergi ke badi>’ah-badi’a>h dalam rangka mempelajari ilmu bahasa Arab. Dengan begitu, badi>’ah-badi’a>h telah berfungsi sebagai forum pendidikan.[18]
Selain itu, di badi>’ah-badi’a>h ini juga terdapat ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang menjadi sentra acara para sufi. Di sanalah mereka membuatkan metodenya untuk mencapai ma'rifat.
i. Perpustakaan
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah Adalah perpustakaan. Pada zaman berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku memiliki nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi. Orang dengan gampang sanggup berguru dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Para ulama dari aneka macam macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing. Para ulama juga memperlihatkan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk berguru di perpustakaan pribadi mereka.[19]
Dengan didirikannya perpustakaan para pelajar akan merasa sangat terbantu lantaran mereka sanggup mengurangi pengeluaran untuk pembelian buku. Terdapat tiga perpustakaan besar dalam sejarah Islamklasik, yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.
Baca juga selengkapnya: sejarah pendidikan di madrasah
[1] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan IslamPada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 37.
[2] Ibid., 32.
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumu Aksara, 1997), 89.
[4] A. Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 45.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad Saw “The Super Leadership Manager”, (Jakarta Selatan: Tazkia Publishing, 2012), 42.
[6] George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islamic and The West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1991), 19.
[7] Asma Hasan Fahmi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1990), 32.
[8] George Makdisi, The Rise of Colleges, 184.
[9] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[10] Imla’ yaitu menyalin aksara hijaiyah dan tanda baca dengan benar sehingga menjadi goresan pena yang baik dan benar. (Lihat buku Imla’ Teori dan Terapan hal 21).
[11] George Makdisi, The Rise of Colleges, 195.
[12] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 92.
[13] Ibid., 93.
[14] Ibid., 79.
[15] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 96.
[17] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 37.
[18] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 42.
[19] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 98.