Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Aturan Islam

Dalam pembahasan berguru sejarah islam ini dengan judul sejarah aturan islam, dan juga merupakan pembahasan kelanjutan dari strategi dan pengembangan dakwah nabi muhammad saw di madinah  maka selanjutnya kita pribadi membahas pada sejarah aturan islam yang kita awali pada konsep Tanpa meniadakan tatanan yang telah ditinggalkan oleh Dinasti Umayyah, baik dalam ilmu pengetahuan dan pemerintahan, Abbasiyah bisa menyebarkan dan memanfaatkan apa yang mereka dapatkan dari tempat taklukkan, tidak hanya harta rampasan perang, tapi juga kebudayaan dan pengembangan keilmuan dan pemikiran. Hal ini menjadikan khazanah budaya dan pengetahuan Dinasti Abbasiyah juga mengalami perkembangan.
Sejarah perkembangan hukum Islam juga mengalami kemajuan pesat pada masa dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan pengkodifikasian banyak sekali ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fiqh atau aturan Islam. Kemajuan tersebut sanggup tercapai berkat pemberian kebebasan berfikir secara individual dan sekaligus persaingan bebas dalam mengeluarkan pendapat bagi para mujtahid. Kebebasan perpikir tersebut sanggup dimanfaatkan secara positif oleh para ilmuwan pada ketika itu, dengan pinjaman penuh pemerintah, sehingga bisa meninggalkan warisan intelektual yang tidak ternilai harganya bagi generasi berikutnya.

kemapanan aturan islam di abbasiyah

Dalam suasana Daulat Abbasiyah sedang membutuhkan jurisprudensi Islam yang mudah untuk kepentingan negara dan pendidikan atau pengajaran fiqh yang mengalami perkembangan dan kemajuan, para fuqaha’ terpolarisasi menjadi dua model. Pertama, ahlu al-ra’yi, yang menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada pemahaman dan kemampuan nalar dalam berdiskusi dan berbantah. Kelompok ini mengambil bentuk dari rujukan pikir Imam Abu Hanifah (700-767 M)[1]. Kedua, ahlu al-hadith, yang menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada sunnah Nabi dan tidak mau menggunakan rasio dalam memilih aturan kecuali dalam keadaan terpaksa. Kelompok ini diprakarsai Imam Malik Ibn Anas (713-795 M).[2]
Dalam kondisi masyarakat yang terfragmentasi menjadi dua ini, Imam al-Syafi’i (767-820 M)[3] muncul dengan menekuni pelajaran pertama kali kepada ahlu al-hadith, yaitu kepada Muslim Ibn Khalid (w. 179 H) dan Sufyan Ibn Uyaynah (w. 198 H) di Mekkah, lalu pribadi kepada Imam Malik Ibn Anas di Madinah.
Ketika al-Syafi’i tiba ke Iraq, terjadi pelecehan ahlu al-hadith yang amat dahsyat oleh ahlu al-ra’yi, terutama terhadap Imam Malik, guru Imam al-Shafi’iy. Hal ini terjadi lantaran secara kebetulan ahlu al-ra’yi lebih terkenal di Iraq dan lebih bersahabat dengan penguasa, sebagai akhir kepandaiannya dalam berdebat dan berdiskusi serta kelihaiannya dalam merekayasa hukum.[4]
Melihat kenyataan menyerupai ini, maka masuk akal apabila Imam al-Shafi’iy membela dan mempertahankan gurunya. Suatu ketika Imam al-Shafi’iy ditanya oleh Muhammad Ibn al-Hasan dari Madzhab Hanafi, “Bagaimana pendapatmu mengenai perilaku teman-temanmu dan teman-temanku? Malik apa Abu Hanifah?”
Al-Shafi’iy balik bertanya, “Siapa yang lebih mengerti perihal hadis Nabi? Malik ataukah Abu Hanifah?”
Al-Hasan menjawab, “Malik, tetapi Abu Hanifah lebih analogis!”
Al-Shafi’iy menyatakan, “Ya, lantaran Malik lebih mengerti perihal kitab Allah –termasuk nasikh dan mansukhnya dan sunnah Nabi dibanding Abu Hanifah. Maka, Malik lebih patut untuk diikuti.” [5]
Dasar-dasar yang dikemukakan oleh Imam al-Shafi’iy tersebut lalu menjadi hujjah kelompok Maliki penduduk Iraq dalam setiap perbantahan menghadapi kelompok Hanafi, sekaligus mempopulerkan nama Imam al-Shafi’iy kepada penduduk Iraq. Imam al-Shafi’iy cukup terpengaruh dengan ahlu al-hadith, sehingga ketika mempelajari buku-buku ahl al-ra’yi ia cenderung menolak pendapat-pendapat mereka dan tetap gigih mempertahankan atau membela ahlu al-hadith. Ketika al-Shafi’iy tiba ke Baghdad, terdapat 40-50 kelompok diskusi sesuai dengan afiliasi masing-masing. Berkat keahlian al-Shafi’iy dalam menjelaskan fungsi hadis dalam Shari’at Islam, banyak di antara ahlu al-ra’yi bergabung dengannya. Bahkan, tokoh-tokohnya kesannya menjadi muridnya.
Di antara murid-murid al-Shafi’iy yang terkenal ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) yang akan membentuk madzhab Hanbali, Abi Thaur yang membentuk madhhab al-Thauri, dan Sulaiman Ibn Daud yang membentuk madzhab al-Zahiri.
Dari beberapa murid tersebut, madzhab Shafi’iy selanjutnya berkembang di dua tempat, yaitu di Iraq yang dikembangkan oleh al-Za’farani, al-Karibasi, Abu Thaur, dan Ibn Hanbal, serta di Mesir yang dikembangkan oleh al-Buwaithi, al-Muzani, dan al-Rabi’ al-Maradi. Dua tempat tersebut sekaligus merupakan model dari madzhab al-Shafi’iy yang sudah terpengaruh dengan situasi sebelumnya. Oleh lantaran itu, di dalam madzhab Syafi’i terdapat dua qaul/madzhab, yaitu madzhab qadim dan madzhab jadid.[6]
Al-Shafi’iy ialah orang yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah usuliyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah, yang merupakan kerangka landasan bagi setiap mujtahid untuk ber-istinbat suatu hukum. Oleh lantaran itu, semenjak kehadiran Imam al-Shafi’iy, para mujtahid semakin marak dalam ber-istinbat yang justru menjadikan banyak sekali perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Satu duduk kasus yang sama pada tempat yang sama sering mendapat tanggapan aturan yang berbeda apabila diputuskan oleh dua orang yang berbeda.
Sebenarnya, al-Syafi’i telah menciptakan syarat-syarat yang cukup berat bagi para mujtahid untuk ber-istinbat suatu hukum, tetapi masih belum mendapat tanggapan yang serius dari seluruh masyarakat terutama para fuqaha. Para murid al-Shafi’iy justru menyebarkan madzhab-madzhab sesuai dengan ijtihad masing-masing. Maka, lahirlah madzhab Hanbaliy, al-Thauri, al-Zahiri, dan lain-lain.[7]
Penerapan syarat-syarat mujtahid gres berjalan efektif sesudah Nizam al-Muluk[8] menjadi menteri pada dinasti Salajikah, atas imbas al-Ghazali –penganut madzhab Shafi’iy– yang telah membatasi para mujtahid serta menerapkan syarat ijtihad secara ketat, sehingga para hakim dan masyarakat hanya diperbolehkan mengikuti madzhab-madzhab yang sudah terkenal ketika itu, yang dianggap tidak menyimpang dari anutan Islam. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari perselihan yang semakin meluas di kalangan kaum muslimin.[9]
Satu laba bagi madzhab Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, ialah bahwa antara pengikut al-Syafi’i tidak hingga terjadi perselisihan yang sangat mendasar. Kalaulah ada, hanya bersifat furu’ (cabang). Lain halnya dengan pengikut Abu Hanifah yang mengalami perbedaan prinsip, yang otomatis secara furu’ semakin lebar. Hal tersebut disebabkan lantaran al-Shafi’iy telah menyusun sendiri prinsip-prinsip tersebut dan pengembangan cabangnya terserah kepada siapa yang ber-istinbat. Sedangkan Abu Hanifah tidak menyusun sendiri prinsip-prinsipnya, sehingga antara pengikut terjadi perbedaan prinsip sesuai dengan yang mereka dengar dan pahami dari Abu Hanifah.
Dari uraian tersebut di atas, kiranya sanggup disimpulkan bahwa korelasi antara madzhab fiqh dengan penguasa politik sangat erat. Artinya, bahwa kebutuhan penguasa terhadap suatu bentuk jurisprudensi negara yang menurut syara’ cukup memacu perkembangan aturan fiqh. Sebaliknya, suatu aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibentuk oleh para mujtahid tidak serta merta dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan atau pemberlakuan secara resmi oleh penguasa.[10]
Oleh lantaran itu, sesunggguhnya perkembangan suatu aturan tergantung kepada kebutuhan mudah masyarakat, yang dalam hal ini terformulasi dalam bentuk pengusa. Apabila penguasa menghendaki suatu aturan tertentu, maka jadilah. Begitu pula sebaliknya, bila penguasa bermaksud menghapus suatu aturan tertentu, maka gugurlah aturan itu.
Dengan demikian, perkembangan aturan fiqh sebagaimana hukum-hulum yang lain, termasuk di dalamnya ialah perkembangan madzhab, sangat ditentukan oleh penguasa (politik). Oleh lantaran Nizam al-Muluk ialah penguasa yang bermadzhab Shafi’i (Sunni), maka yang dikembangkan tentu sesuai dengan afiliasi penguasa yang bersangkutan.
demikian dari sejarah aturan islam yang sanggup saya jelaskan dalam kesempatan kita kali ini, tentunya sebagai titik poin bahwa hukum islam sangat berbeda dengan fikih lantaran aturan islam mempunyai makna yang lebih luas serta mempunyai cakupan yang lebih luas pula..





[1] Para pengikut Imam Hanafi menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fusuliyah, Darar al-Hukkam, Kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah: Al-Qur’anul Karim, Sunnah Rosul dan atsar yang shahih lagi masyhur, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Adat dan uruf masyarakat. Murid Imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya ialah : Imam Abu Yusuf al-Anshari, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996), h. 100.
[2] Dasar madzhab Maliki dalam memilih aturan ialah : Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, a’mal ahl al-Madinah, Qiyas, dan Istishab / al-Masalih al-Mursalah. Muh. Zuhri, Hukum Islam …, h. 105; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, h. 56-57; Montgomery Watt, Kejayaan Islam…, h 126-127.
[3] Madzhab fiqih as-Shafi’iy merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam memilih hukum, lantaran kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas. Syafi’i pernah berguru Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah hingga matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melaksanakan kajian aturan dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian aturan yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa aturan Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan aturan yang jelas, ia mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan gres yang terakhir melaksanakan qiyas dan istishab. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 149.
[4] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998, 71.
[5] Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad : Risalah Bush, 1995, 76.
[6] Dede Rosyada, Hukum Islam, 150.
[8] Nizam al-Muluk ialah wazir/menteri dinasti Salajikah pada masa pemerintahan Alb Arselan dan putranya Maliksyah.  Ia terkenal sebagai pendiri Madrasah Nizhamiah. Di bidang intelektual, upaya-upaya Wazir Nizham al-Muluk dan pakar-pakar menyerupai teolog al-Ghazali memperkuat kekalahan Syi’isme ditingkat politik dan memperkuat reaksi sunni ortodok. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zakra, 2000, 43.
[9] Esnsiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove. 2003 vol. 2, hlm. 614-616. Nasrun Haroen (Pemimpin Redaksi). Esnsiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove. 2003 vol. 2, hlm. 614-616. Nasrun Haroen (Pemimpin Redaksi).
[10] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001, 200.