Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perbuatan ta’at, apakah dilakukan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan

Menjawab pertanyaan di atas, ‘Izzuddin Abdussalam menjelaskan bahwa perbuatan ta’at terbagi tiga, yakni :
1.    Disyari’atkan dilakukannya secara terang-terangan
Contohnya azan, iqamah, takbir, jihar qiraah shalat, khutbah syar’iyah, amar ma’ruf nahi munkar, imamah jum’at dan jama’ah, hari raya, jihad, mengunjungi orang sakit dan mengantar jenazah. Ini semua tidak mungkin dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Karena itu, apabila seseorang kuatir terjadi riya atasnya, lalu  berusaha menghilangkan riya tersebut dari jiwanya sehingga muncul niat ikhlas dalam hatinya sebagaimana petunjuk syari’at, maka dia mendapat dua pahala, yakni pahala keikhlasannya dan pahala melakukannya secara terang-terangan karena amalannya itu melampaui kepada orang lain.
2.    Melakukannya secara sembunyi-sembunyi lebih baik dari pada melakukannya terang-terangan
Contohnya, sir qiraah dalam shalat dan sir zikir-zikirnya. Ini melakukannya secara sembunyi-sembunyi lebih baik dari pada melakukannya terang-terangan
3.    Kadang lebih baik melakukannya sembunyi-sembunyi dan terkadang lebih baik secara terang-terangan, misalnya sadaqah.
Dalam masalah ini ada rinciannya, yakni :
a.       Jika seseorang kuatir riya atas dirinya atau diduga riya dari kebiasaannya, maka melakukannya secara sembunyi-sembunyi lebih baik dari pada melakukannya terang-terangan. Ini sesuai dengan firman Allah berbunyi :
وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Jika kamu menyembunyikan sadaqah itu dan kamu memberikannya kepada fakir miskin, maka itu lebih baik bagimu. (Q.S. al-Baqarah : 271)

b.      Jika aman dari riya, ini ada dua kondisi. Apabila seseorang itu bukan tokoh panutan, maka melakukannya secara sembunyi-sembunyi lebih baik. Karena tidak ada jaminan dia tidak berubah sikapnya ketika melakukan secara terang-terangan. Adapun apabila dia seorang tokoh panutan, maka melakukan secara terang-terangan lebih baik. Karena hal itu menutup kekurangan fakir miskin serta ada kemaslahatan diikuti oleh orang lain. Pada ketika itu, dia telah melakukan dua hal yang bermanfaat, yakni dengan sadaqahnya telah memberikan manfaat kepada fakir miskin dan dengan sadaqahnya pula menjadi sebab tergerak hati orang kaya melakukan hal yang sama.[1]




[1] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. I, Hal. 214-215