Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Boikot Terhadap Kaum Muslimin

     
 Berbagai cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menahan gerak dakwah Rasulullah saw bagai Boikot Terhadap Kaum Muslimin
Perkampungan Abu Thalib
   
Berbagai cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menahan gerak dakwah Rasulullah saw bagai membentur tembok besar: Selalu gagal. Alih-alih berhasil, mereka justru menerima bahaya dari pendukung Nabi saw, di antaranya Abu Thâlib. Hal ini menciptakan Quraisy bertambah murka dan mereka pun mengumumkan peperangan.

     Suatu pertemuan digelar di kediaman Bani Kinânah, di lembah al-Mahshib. Hampir seluruh pembesar Quraisy hadir. Agenda pertemuan yaitu planning pemboikotan terhadap Nabi saw dan para pengikutnya. Mereka sepakat untuk mengembargo umat Islam secara ekonomi dan sosial.

     Dalam urusan ekonomi, kaum Quraisy tidak akan berjual-beli dengan kaum Muslim. Secara sosial, Quraisy tidak akan menikahi Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib, tidak berkumpul dan tidak berbaur, serta tidak berbicara dengan kaum Muslim. 

     Pernyataan embargo itu mereka dokumentasikan di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah yang digantungkan di dinding Ka’bah. 

Berikut isinya: 
     “Bahwa mereka selamanya tidak akan mendapatkan perdamaian dari Bani Hâsyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali bila mereka rnenyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh.” 

Tiga Tahun di Perkampungan Abu Thâlib 
     Selama embargo yang berlangsung tiga tahun itu, kegiatan dakwah cukup terganggu. Meski demikian, hal itu menambah keteguhan hati umat Islam dalam memegang risalah. Mereka terus berjuang membuatkan Islam kepada seluruh manusia. 

      Pemboikotan menciptakan kaum Muslim menderita luar biasa. Selama masa itu, Rasulullah saw dan Khadijah berusaha keras melindungi kaum Muslim. Seluruh harta benda Khadijah habis dipakai untuk membantu kaum Muslim yang kelaparan. Sementara itu, Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib tetap membela Rasulullah saw. 

     Di masa itu pula, kaum Muslim tetapkan untuk berkumpul di perkampungan Abu Thâlib pada bulan Muharram tahun ke-7 dari masa kenabian, biar sanggup saling menolong. Selama ini kerabat Nabi saw dan kaum Muslim tinggal berpencar di negeri Makkah. Mereka tak berkumpul di satu tempat. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam menghadapi boikot kaum musyrik. 

     Pcmboikotan semakin diperketat sehingga persediaan masakan pun habis. Sementara kaum musyrik tidak membiarkan masakan apa pun masuk ke perkampungan Abü Thâlib. Situasi tersebut menciptakan kaum Muslim kian terjepit. 


Masa-masa Penuh Penderitaan 
     Kondisi kaum Muslim mengenaskan. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Mulut mereka berbusa dan belum dewasa mereka merintih kelaparan.

    Sa’ad bin Abi Waqqâsh menuturkan penderitaan yang mereka alami. “Pada suatu malam, saya pergi kencing. Tiba-tiba saya mendengar bunyi gemercik air kencingku tampaknya banyak, sehingga saya gembira. Setelah selesai, saya gres sadar bahwa yang gemercik itu yaitu bunyi kulit yang saya biarkan terpanggang di atas api supaya kering dan sanggup saya makan. Ternyata kulit itu menjadi sangat kering, sehingga terpaksa saya memakannya dengan merendamnya dalam air terlebih dahulu.” 

     Makanan memang tidak ada yang hingga ke tangan kaum Muslim, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Keluar rumah untuk membeli masakan pun mereka takut, kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang tiba dari luar Makkah. Akan tetapi, penduduk Makkah menaikkan harga barang-barang beberapa kali lipat biar mereka tidak bisa membelinya. 

     Di tengah situasi yang kritis itu, ada sebagian orang kafir yang menyelundupkan makanan. Salah satunya ‘Umar al-Amiri yang meletakkan masakan di atas unta, kemudian memukul unta itu sehingga masakan bisa hingga ke Bani Hâsyim. Namun, itu tak berlangsung usang alasannya kaum Quraisy kesannya mengetahui hal tersebut.

     Para pembesar Quraisy marah. Mereka kemudian menginterogasi ‘Umar. 

     “Apakah engkau telah ikut agama Muhammad?” 

     “Tidak,” jawab ‘Umar. 

     “Mengapa engkau melaksanakan hal tersebut?” tanya Quraisy lagi. 

     “Untuk menyambung silaturahim,” jawab ‘Umar. 

     Mendengar tanggapan itu, Quraisy menghardik, “Jangan hingga engkau mengulanginya lagi.” 

    Setelah tiga hari berlalu, ‘Umar mengulangi perbuatannya dan Quraisy memergokinya lagi. Kemudian ‘Umar dituntut untuk bersumpah biar tidak melakukannya lagi. Namun, ‘Umar kembali melaksanakan hal yang sama. Akhirnya Quraisy mcmukulinya. Akan tetapi, ‘Umar tetap mengulangi perbuatannya. Quraisy kemudian memukulinya. Beruntung Abü Sufyân datang. Ia memerintahkan kaum Quraisy untuk membebaskan ‘Umar. 

     “Biarkanlah pria yang ingin menyambung silaturahim. Janganlah kalian merusak seluruh susila baik kita.”

     Di lain kesempatan, Hakim bin Hizâm pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadijah. Suatu saat, perbuatannya diketahui Abu Jahal. Hakim dihadang dan diinterogasi oleh Abñ Jahal. Untung saja, ada Abü al-Bukhturi yang menengahi dan membiarkannya lolos membawa gandum tersebut. 

Ilustrasi Unta yang membawa masakan yang biasa dilakukan pada zaman Rasulullah


     Di lain pihak, Abu Thâlib merasa khawatir atas keselamatan kemenakannya itu. Ia kemudian memerintahkan Nabi saw untuk berbaring di daerah tidurnya biar memudahkan Abu Thâlib mengetahui jikalau ada yang hendak membunuh Muhammad. Dan ketika orang-orang telah benar-benar tertidur, Ia memerintahkan salah satu dari putra-putra, saudara-saudara, atau kemenakan-kemenakannya untuk tidur di daerah tidur Rasulullah saw. Sementara, Rasulullah saw diperintahkan untuk tidur di pembaringan mereka.

     Saat embargo itu, Rasulullah saw dan kaum Muslim diperbolehkan menunaikan ibadah haji. Ini dilakukan biar boikot yang dilakukan Quraisy tidak diketahui oleh suku-suku yang lain.

Rayap Membatalkan Piagam Boikot
     Kondisi kaum Muslim kian memprihatinkan. Embargo telah berlangsung sekitar tiga tahun. Namun, mereka tetap tegar. Tidak satu pun yang termakan dengan bujuk rayu kaum Quraisy.

     Sebaliknya, keteguhan kaum Muslim menciptakan kaum Quraisy hilang kesabaran. Perpecahan mulai terjadi di antara mereka. Sebagian kaum Quraisy berusaha membatalkan piagam pemboikotan yang di antaranya dilakukan oleh Hisyâm bin ‘Amru dari Bani Amir bin Luai.

     Suatu malam, Hisyâm secara rahasia melaksanakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai materi makanan. Ia menemui Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumi (ibunya berjulukan ‘Atikah binti ‘Abdul Muthallib).

     “Wahai Zuhair, apakah engkau tega sanggup menikmati makan dan minum, sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka menyerupai yang engkau ketahui ketika ini?” tanya Hisyâm.

     “Apa yang sanggup saya perbuat bila hanya seorang diri? Sungguh, demi Allah andaikata ada seorang lagi bersamaku, pasti saya robek lembaran piagam tersebut,” jawab Zuhair.

     “Engkau sudah mendapatkannya!” kata Hisyâm.

     “Siapa dia?” Zuhair bertanya penuh kei ngintahuan.

      “Aku,” jawab Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan untuk kita orang ketiga!” usul Zuhair.

     Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin ‘Adl. Saat keduanya bertemu, Hisyâm menyinggung silaturahim antara Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib, dua orang putra ‘Abdu Manâf dan mencela persetujuannya atas tindakan zalim kaum Quraisy. Mendengar klarifikasi Hisyâm, al Muth’im eksklusif bereaksi.

     “Celakalah engkau! Apa yang sanggup saya lakukan padahal saya hanya seorang diri?” kata al-Muth’im.

     “Engkau sudah mendapatkan orang kedua.”

     “Siapa dia?”

     “Aku,” jawab Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan orang ketiga!” pinta al-Muth’im.

     “Sudah saya dapatkan orangnya,” jawab Hisyâm.

     “Siapa dia?” tanya al-Muth’im.

     “Zuhair bin Abi Umayyah,” kata Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan orang keempat!” mohon al-Muth’im lagi.

     Lalu Hisyâm pergi menemui Abu al Bukhturi bin Hisyâm. Setelah bertemu, Hisyâm berbicara persis dengan apa yang telah dikatakannya kepada al-Muth’im.

     “Apakah ada orang yang membantu kita dalam hal ini?” tanya al-Bukhturi.

     “Ya, ada,” jawab Hisyam.

     “Siapa dia?” tanya al-Bukhturi.

     “Zuhair bin Abi Umayyah dan al Muth’im bin Adi. Aku juga akan bersamamu,” terang Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima!” mohon al-Bukhturi.

     Kemudian Hisyâm menemui Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muthallib bin Asad. Dia berbincang dengan Zam’ah wacana korelasi yang ada di antara mereka dan hak-hak mereka.

     Zam’ah bertanya kepadanya, “Apakah ada orang yang mendukung rencanamu ini?”

     “Ya” jawab Hisyâm.

     Lalu Hisyâm menyebutkan nama-nama orang yang ikut serta. Setelah terkumpul lima orang, mereka bertemu pada malam hari di pintu Hujün. Mereka berjanji akan melaksanakan abolisi terhadap isi piagam pemboikotan.

     “Akulah orang pertama yang akan berbicara,” ujar Zuhair penuh semangat. Rencana pun disusun dengan rapi.

     Di pagi hari, mereka pergi ke daerah perkumpulan kaum Quraisy. Zuhair tiba dengan mengenakan pakaian kebesaran kemudian mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Setelah itu, ia membalikkan tubuh dan menghadapkan wajahnya ke kerumunan kaum Quraisy.

     “Wahai penduduk Makkah! Apakah kau tega bisa menikmati masakan dan menggunakan pakaian, sementara Bani Hâsyim binasa. Tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka?” Zuhair membuka pembicaraan. Orang-orang Quraisy menyimak penuh perhatian.

     “Demi Allah, saya tidak akan duduk hingga lembaran piagam yang telah tetapkan silaturahim dan zalim ini dirobek!” kata Zuhair sambil mengarahkan tangannya untuk mengambil lembaran piagam yang tergantung di Ka’bah.

     Abu Jahal yang berada di pojok masjid terkejut dengan keberanian Zuhair. Ia eksklusif bangun dari duduknya dan bergegas mendekati Zuhair.

     “Demi Allah! Engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!” teriak Abü Jahal panik.

     Namun, Zam’ah bin al-Aswad segera membalas ocehan Abu Jahal.

     “Demi Allah! Justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya waktu itu.”

     “Benar apa yang dikatakan Zam’ah. Kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya,” al-Bukhturi menambahkan.

     Al-Muth’im tak mau ketinggalan. “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang menyampaikan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari piagam tersebut dan apa yang ditulis di dalamnya,” tegas al-Muth’im. Sementara itu, Hisyâm bin ‘Amru menjadi orang terakhir yang semakin memperjelas ketidaksetujuan mereka terhadap piagam pemboikotan tersebut.Abu Jahal berang melihat hal itu.

     “Urusan ini telah diputuskan di daerah selain ini pada malam dimusyawarahkannya ketika itu,” kata Abu Jahal dengan sorot mata tajam.

     Saat ketegangan memuncak, datanglah Abü Thâlib. Paman Nabi saw itu sengaja pergi ke Masjid al-Harâm alasannya ia telah diberitahu oleh Rasulullah saw wacana piagam yang telah robek dimakan oleh rayap.

     “Paman, lembaran piagam itu telah rnusnah alasannya Allah telah mengirimkan rayap-rayap untuk memakannya, kecuali goresan pena yang ada nama Allah,” ujar Rasulullah saw kepada Abu Thâlib.

     Abu Thâlib memberitahukan hal tersebut kepada kaum Quraisy.

     “Wahai Quraisy, kemenakanku menyampaikan piagam itu telah dimakan rayap. Mari kita buktikan kebenaran Muhammad. Jika memang kemenakanku berbohong, kami akan membiarkan kalian untuk menuntaskan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya. Jika dia benar, kalian harus membatalkan embargo,” ujar Abu Thâlib.


MUKJIZAT RASULUflAH SAW
KEMAMPUAN MELIHAT MASA DEPAN
Memiliki kemampuan memperlihatkan informasi wacana dongeng para nabi serta insiden yang akan terjadi pada masa dia hidup dan masa depan. Itulah sebagian dari berita-berita mistik yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sungguh, kesudahan (yang baik) yaitu bagi yang bertakwa. (QS. Hud (11): 49) dan (QS. ar-Rum (30): 1—4) 

      “Jika itu yang engkau inginkan, kami setuju. Kalau begitu, engkau telah berlaku adil,” kata orang-orang Quraisy.

     Sorot mata orang-orang Quraisy sekarang tertuju pada piagam yang masih tergantung di Ka’bah. Demikian pula Abu Thalib, Hisyâm, dan rekan-rekan mereka.

     Al-Muth’im kemudian bergegas menuju lembaran piagam untuk merobeknya. Setelah jaraknya begitu bersahabat dengan piagam itu, mimik muka al-Muth’im berubah. Ia terkejut bercampur bangga alasannya melihat rayap-rayap telah memakan piagam kecuali goresan pena “bismikallah” (dengan nama-Mu, ya Allah) dan goresan pena yang ada nama Allah di dalamnya.

     Piagam itu kesannya tak berlaku lagi. Nabi saw bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thâlib pun sanggup leluasa keluar. Namun, kaum Quraisy tetap pada pendiriannya. Mereka tak mau mengakui kebenaran Nabi saw meski telah melihat gejala kenabian beliau.

     Dan jikalau mereka (orang-orang musyrik) melihat sesuatu tanda (mujizat,), mereka berpaling dan berkata, “(ini adalah) sihir yang terus-menerus. “(QS. al-Qamar [54]: 2)

     Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran-kekekufuran yang lain lagi. (HR. Bukhari).

Utusan Terakhir Quraisy Menemui Abu Thâlib 
     Setelah abolisi embargo, Rasulullah saw mulai leluasa melaksanakan acara menyerupai biasa. Namun, bukan berarti kaum Quraisy tinggal diam. Mereka tetap gigih melaksanakan tekanan terhadap kaum Muslim.

     Di lain sisi, Abu Thâlib masih tegar memperlihatkan pinjaman kepada kemenakannya tercinta. Namun, sekarang usianya bertambah tua, melebihi 80 tahun. Penderitaan dan peristiwa-penistiwa besar yang tiba silih berganti menciptakan kondisi fisiknya melemah. Tubuhnya semakin ringkih sehabis terjadi pengepungan dan pemboikotan terhadap perkampungannya. Persendiannya lemah dan tulang rusuknya patah. Abu Thâlib jatuh sakit.

     Kabar ini cepat tersiar di penjuru Makkah. Kaum Quraisy bangga mendengarnya. Pelindung utama Muhammad saw di ambang kematian, pikir mereka. Itu berarti mereka akan lebih leluasa menyiksa Nabi saw.

     Namun, sebelum maut menjemput Abü Thâlib, mereka harus menjenguknya. Mereka tidak mau nama besar Quraisy cacat alasannya hanya tiba ke kediaman Abü Thâlib ketika kematiannya. Karena itu, mereka sekali lagi mengadakan negosiasi dengan Abu Thalib. Para pemuka Quraisy yang hadir, antara lain, yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyâm, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan itu dilakukan di hadapan para tokoh yang berjumlah sekitar 25 orang.

     “Wahai Abu Thâlib, bahwasanya engkau, menyerupai yang engkau ketahui, yaitu bab dari kami dan ketika ini, sebagaimana yang engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami cemas terhadap dirimu padahal engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami dan kemenakanmu,” ujar salah satu dari kaum Quraisy mengawali pembicaraan.

     Mereka kemudian meminta Abü Thâlib membujuk kemenakannya untuk menenima ajuan yang mereka ajukan.

     “Kami akan mendapatkan yang Muhammad minta. Namun, kemenakanmu juga harus mendapatkan apa yang kami mau,” bujuk mereka. “Kami tidak ingin mencampuri urusan Muhammad, demikian juga dengan kemenakanmu. Desaklah dia biar membiarkan kami menjalankan agama kami menyerupai halnya kami juga akan membiarkannya menjalankan agamanya,” pinta kaum musyrik Quraisy.

     Abu Thâlib kemudian mengirimkan utusan untuk meminta Rasulullah saw datang. Nabi saw tiba di kediaman pamannya. “Wahai kemenakanku! Mereka itu yaitu pemuka-pemuka kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil sesuatu pula darimu.”

     Lalu Abu Thâlib memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang telah ditawarkan oleh orang-orang Quraisy kepadanya.

     Rasulullah saw termangu sejenak. Setelah itu, dia mulai berbicara.

     “Bagaimana pendapat kalian bila saya katakan kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan, pasti kalian akan sanggup menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada kalian?”

     Ketika mendengar ini, mereka tercengang dan bingung. Mereka tidak tahu bagaimana caranya menolak satu kalimat itu.

     Abü Jahal yang ingin tau eksklusif berujar, “Apa itu? Sungguh saya akan memberikanmu sepuluh kali lipatnya.”


RASULULIAH SAW MENDOAKAN ANAK—ANAK
     Ada seorang anak non-Muslim berjulukan Abu Mahdzurah, si pemilik bunyi merdu. Ketika dia mengejek azan, Rasulullah saw tidak memarahinya. Bahkan, dia mengusap kepalanya seraya berdoa, “Ya Allah, berilah keberkahan terhadapnya dan tunjukilah dia pada Islam.” Beliau mengucapkan itu dua kali. Selanjutnya, dia menyuruh dia mengucapkan, “Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”, hingga kesannya Abu Mahdzurah azan di Makkah, Subhanallâh!                 Diriwayatkan dalam shahib Bukhâri dan Anas bin Malik, “Ada seorang anak Yahudi yang menjadi pelayan Nabi, sedang menderita sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di bersahabat kepalanya seraya berkata kepadanya, “Berislamlah.” Anak tadi menoleh kepada ayahnya yang berada di sampingnya. Ayahnya berkata, “Ikuti Abu al-Qäsim.” Kemudian, bocah tadi masuk Islam. Lalu Rasulullah saw keluar seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia danrineraka.” 

     “Kalian katakan, ‘La Ilaha illallâh’ dan kalian ringgalkan sesembahan selain-Nya!” tegas Rasulullah saw.

      Orang-orang Quraisy tidak menyetujui seruan Nabi saw. Mereka justru bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.

     “Wahai Muhammad! Apakah kau hendak menciptakan tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu saja? Sungguh absurd polahmu ini.”

     Di antara mereka kemudian saling berbicara. Suasana menjadi gaduh.

     “Demi Allah! Sesungguhnya orang ini tidak memperlihatkan apa yang kita inginkan. Pergi dan teruslah dalam agama nenek moyang kita hingga Allah tetapkan antara kita dan dirinya,” kata salah seorang Quraisy kepada rekan-rekannya. Peristiwa tersebut menciptakan Allah menurunkan firman-Nya berikut.

     Shad, demi al-Qur’an yang memiliki keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah kami binasakan, kemudian mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah ketika untuk lari melepaskan diri. Dan rnereka heran alasannya mereka kedatangan seorang pembeni peringatan (rasul) dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir berkata, “ini adalab spesialis sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menimbulkan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kau dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, bahwasanya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini (meng-Esakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan. (QS. Shad [38]: 1-7) (Ibnu Hisyâm).

Hikmah Boikot terhadap Kaum Muslim
     Peristiwa embargo ekonomi dan pengucilan kerabat-kerabat Nabi saw yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy waktu animo Haji menarik perhatian seluruh kabilah di Jazirah ‘Arab. Beliau dan kaum Muslim melanjutkan misi dakwahnya ke banyak sekali kabilah dalam kondisi haus dan lapar.
       Peristiwa embargo ekonomi justru membuka mata hati kabilah-kabilah ‘Arab untuk mengakui kebenaran. Mereka berpandangan,jika dakwah Nabi saw salah, mana mungkin dia dan para sahabatnya mau menanggung risiko yang amat berat itu.
     Aksi pemboikotan terhadap nabi Muhammad saw, Bani Hâsyim, dan Bani Muthallib, menciptakan kabilah-kabilah ‘Arab membenci kaum Quraisy. Betapa dahsyatnya agresi pemboikotan itu, sehingga menciptakan banyak kabilah simpatik terhadap Islam dan gaung Islam pun semakin menyebar ke seluruh tanah ‘Arab. Pengepungan, pemboikotan, dan pengekangan yaitu agresi yang melanggar hak-hak asasi manusia. Di kurun modern ini, kehidupan seorang Muslim dan kebebasan beragama yang tumbuh di negara mana pun dijamin oleh penguasa. Banyak juga undang-undang yang pada dasarnya membebáskan umat beragama menjalankan ibadahnya.
     Setiap bangsa di mana pun dan kapan pun yang ingin menerapkan syariah Ilahi pasti akan berhadapan dengan banyak sekali kemungkinan. Ditekan, dikucilkan, dan diboikot oleh orang-orang yang sesat. Dalam kondisi demikian, para pemimpin Islam hendaknya mempersiapkan diri dan pengikutnya untuk menemukan solusi yang tepat. Hendaknya mereka juga memikirkan, reaksi apakah yang efektif untuk melawan agresi pemboikotan biar umat Islam bisa mempertahankan kebenarannya.