Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Quraisy Menemui Rasulullah Saw

     
Quraisy Membujuk Rasulullah

Kaum musyrik kesusahan dengan masuk Islamnya dua tokoh besar: Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin Khaththâb. Mereka takut Islam kian menybar luas di Jazirah Arab. Namun, lantaran rasa benci yang begitu andal pada Rasulullah saw, mereka tiada putus asa. Jalan lain ditempuh untuk menghalangi tersebarnya aliran Islam. Kali ini, mereka melaksanakan jalur diplomasi dengan memperlihatkan pemenuhan semua tuntutan yang diinginkan Nabi saw.

     Di suatu hari, ‘Utbah bin Rabi’ah, Seorang kepala suku, berbicara di perkumpulan Quraisy ketika Rasulullah saw sedang duduk-duduk seorang diri dalam di masjid. 

     “Wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kalian bila saya menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya, kemudian saya memperlihatkan beberapa hal yang saya berharap semoga saja sebagiannya dia terima. Setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?” 

     “Itu bagus, wahai ‘Utbah! Pergilah dan berbicaralah padanya!” ujar mereka. 

     ‘Utbah segera mcnemui Rasulullah saw dan duduk di sampingnya. 

     “Wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah tiba kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga menciptakan mereka bercerai-berai. Angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela, dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah, saya ingin memperlihatkan beberapa hal kepadamu. Kami ingin tahu bagaimana pendapatmu. Semoga saja sebagiannya sanggup engkau terima.” 

    “Wahai Utbah, katakanlah saya akan mendengarkannya!” jawab Rasulullah saw. 

     “Wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu semoga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami,” bujuk ‘Utbah. 

     “Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, kami akan mengangkatmu menjadi pemimpin kami hingga kami tak akan melaksanakan sesuatu apa pun sebelum engkau perintahkan,” ‘Utbah terus merayu Nabi saw. 

     “Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, kami akan mengangkatmu menjadi raja. Dan bila apa yang tiba kepadamu yaitu jin yang engkau lihat dan tidak sanggup engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu, serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, alasannya orang terkadang terkena jin sehingga perlu diobati,” kembali ‘Utbah menarik hati Rasulullah saw dengan imbalan yang menggiurkan. 

     ‘Utbah berkata hingga usai dan Rasulullah saw mendengarkannya. 

     “Wahai ‘Utbah, telah selesaikah engkau?” tanya Muhammad saw. 

     “Ya,” jawab ‘Utbah. 

     “Sekarang dengarkanlah aku!” kata Rasulullah saw. 

     “Ya, akan saya dengar,” ‘Utbah menjawab. 

     Lalu Rasulullah saw membacakan surah Fushshilat

     Ha mim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang djelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa info bangga dan yang membawa peringatan, tapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kau seru kami padanya. (QS. Fushshilat [41]: 1—5). 

     Rasulullah saw melanjutkan bacaannya. Ketika ‘Utbah mendengarnya, dia malah membisu serta khusyuk mendengarkan sambil bertumpu di atas kedua tangannya yang diletakkan di belakang punggungnya hingga Rasulullah saw menuntaskan bacaannya. Ketika Nabi saw membaca ayat sajadah, ia bersujud. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, 

     “Wahai ‘Utbah! Engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu.” 

     ‘Utbah membisu dan segera bangun menemui para sahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Kami bersumpah atas nama Allah! Sungguh Abu al-Walid telah tiba kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan waktu dia pergi.” ‘Utbah pun duduk bersama mereka. 

     “Apa yang engkau bawa, wahai Abü al Walid?” tanya mereka. 

     “Yang saya bawa sebuah kabar. Aku mendengar perkataan yang belum pernah sama sekali saya dengar semisalnya,” kata ‘Utbah. 

     “Demi Allah, itu bukanlah syair, bukan sihir, dan bukan pula tenung! Wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku, serta biarkanlah orang ini melaksanakan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya!” kata ‘Utbah kepada kaumnya. 

     “Demi Allah! Sungguh ucapannya yang telah saya dengar itu akan menjadi info besar. Jika orang-orang Arab sanggup mengalahkannya, kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain, dan bila dia mengalahkan mereka, kerajaannya yaitu kerajaan kalian juga, keagungannya yaitu keagungan kalian juga. Dan kalian akan menjadi orang yang paling bahagia,” ‘Utbah menasihati kaumnya.

     Tentu saja kaum Quraisy heran dengan apa yang terjadi kepada ‘Utbah. Bukannya terpengaruh oleh perkataan ‘Utbah, mereka justru menuduh ‘Utbah telah dipengaruhi Rasulullah saw. 

     “Demi Allah! Dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai ‘Utbah.” 

     “Inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan!” tegas ‘Utbah. (Ibnu Hisyâm dan sebagiannya sanggup didapatkan pada al-Mu'jam ash-Shagir, ath Thabrâni


Abu Thâlib Mengancam Quraisy 
     Kebencian kepada nabi Muhammad saw yang telah menebal menciptakan kaum Quraisy terus mencari cara untuk menghambat dakwah Islam. Setelah banyak sekali cara menemui jalan buntu, alhasil mereka setuju untuk menempuh cara pamungkas. Apa itu? Mereka akan menemui Abu Thâlib dan memintanya menyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh. 

    Permintaan tersebut tentu saja menciptakan Abu Thalib terkejut. Tuntutan itu tak sanggup dianggap remeh. Ia pun segera mengambil tindakan cepat dengan mengurnpulkan para cowok dan sukunya. Mereka diperintahkan mcmbawa besi dan duduk di belakang setiap pembesar Quraisy yang sedang berkumpul. 

     Abu Thâlib kemudian berseru, “Wahai orang-orang Quraisy, apakah kalian tahu apa yang saya rencanakan?” 

     “Tidak,” jawab mereka serempak. 

     Abü Thâlib segera memanggil para cowok dan meminta mereka untuk mengeluarkan besi yang dibawa mereka. 

     “Demi Allah! Andaikan Muhammad hingga terbunuh, kami akan membunuh kalian semua,” teriak Abu Thalib di hadapan para cowok tersebut. 

     Mendengar pernyataan itu, orang-orang Quraisy bengong dan nyali mereka pun menciut. Mereka tak jadi menjalankan planning untuk membunuh Rasulullah saw. Abu Thâlib berhasil menciptakan takut orang-orang Quraisy lantaran strateginya. Ia mengumpulkan setiap kabilah untuk melindungi Rasulullah saw yang merupakan kemenakannya. Sebagian kabilah, baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam, setuju untuk melindungi Rasulullah saw. (Ibnu Hisyam). 

     Tindakan Abu Thalib itu merupakan seni administrasi jitu. Ia telah mencium gelagat jelek yang hendak dilakukan kaum Quraisy kepada kemenakannya. Mereka berusaha keras membunuh Rasulullah saw, dan salah satu caranya yaitu dengan cara merusak pemberian yang ia berikan kepada kemenakannya. Jika itu terjadi, tidak ada pihak yang sanggup menghalangi mereka. 

     Karena itu, Abu Thalib merancang seni administrasi semoga planning jahat kaum Quraisy itu sanggup dihambatnya. Dan seni administrasi itu yaitu dengan mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim, Bani Al Muthallib, dan Bani Abdu Manâf untuk meminta kesediaan mereka melindungi saudara mereka, Rasulullah saw.

KASIH SAYANG NABI SAW KEPADA MUSUH
     Kekejaman musuh-musuh lsam tidak menciptakan Nabi saw dendam. Ia tetap memperlihatkan kasih sayangnya. Suatu hari, Rasulullah saw sedang mendirikan shalat fajar bersama kaum Muslim di Hudaibiyah. Tiba-tiba tiba 70-80 orang dari wilayah Tan’im hendak menyerang kaum Muslim.              Mereka kemudian tertangkap dan Rasulullah saw membebaskan mereka tanpa tebusan.
      Rasulullah saw mengatakan pengampunan kepada Ghawrats bin Hânits, meskipun orang ini telah mencoba membunuh Nabi saw. Ghawrats kemudian kembali ke tengah-tengah kaumnya dengan berseru,           “Aku kembali mendatangi kalian dari daerah sebaik-baiknya manusia.”
     Suatu ketika, ada mayit lewat di hadapan Rasulullah saw. Beliau segera berdiri menghormatinya. Para sahabat segera berseru, “Wahai Rasulullah, itu yaitu mayit seorang Yahudi!” Rasulullah saw malah menjawab, “Bukankah Ia juga manusia?” (HR. Muslim).
     Rasulullah saw melarang pembunuhan wanita, anak-anak, dan budak selama mereka tidak terlibat dalam penang.
     Bahkan, setiap kali Rasulullah saw mengirim utusan atau ekspedisi pasukan, ia selalu berpesan, “Jangan berlebih-lebihan, jangan menipu, jangan main-main, dan jangan bunuh anak-anak!”