Sejarah Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Pada Kala Rasulullah Saw
Secara harfiyah, al-Qur'an berarti "bacaan yang sempurna", penamaan wahyu dengan al-Qur'an memperlihatkan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan dalam dada manusia. Hal ini mengingat nama al-Qur'an itu sendiri berasal dari kata qiraah (bacaan) dan di dalam kata qiraah terkandung makna "agar selalu diingat". Adapun penamaan al-Qur'an, berasal dari bahasa Aramia - lantaran kata kitabah dalam bahasa Aramia bermakna "gambaran huruf" dan kata qira'ah mempunyai arti tilawah (bacaan).
Para ulama berbeda pendapat mengenai lafald al-Qur'an. Sebagian berpendapat, penulisan lafald tersebut dibubuhi aksara hamzah. Pendapat lain menyampaikan penulisan tanpa dibuhuhi aksara hamzah. Asy Syafi'i, Al Fara dan Al-Asy'ari termasuk diantara para ulama yang beropini bahwa penulisan al-Qur'an tanpa dibubuhi aksara hamzah.
Awal dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur'an tak lepas dari tugas para sahabat dan penerusnya dalam memahami atau menafsirkan al-Qur'an. Sebuah kenyataan pasti, bahwa al-Qur'an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan berbahasa Arab. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt,
"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (QS. Fushilat : 3)
Nabi Muhammad saw, sebagai objek penerimaan wahyu dan para sahabatnya sudah barang tentu memahami al-Qur'an yang diturunkan kepada mereka lantaran diturunkan dalam bahasa mereka sendiri. Namun, sebagaimana bahasa yang lain, bahasa Arab mempunyai akar rumpun dan ragam yang berbeda-beda. Biasanya disandarkan dan digunakan oleh suatu kabilah atau suku tertentu.
Wajarlah, bila pembukuan al-Qur'an yang ketiga yaitu pada masa Sahabat Usman bin Affan, dia berpesan kepada panitia yang dibentuknya dan diketuai oleh Zaid bin Tsabit, semoga bila terjadi perselisihan yang diakibatkan oleh perbedaan lahjah dan dialek semoga merujuk pada dialek suku Quraisy. Sebab al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bersuku Quraisy.
Adakalanya, al-Qur'an menggunakan bahasa dari suku lain yang belum diketahui oleh suku lain, atau bahkan menggunakan bahasa 'Ajam atau selain bahasa Arab. Misalnya bahasa Persia, namun tereduksi dalam bahasa Arab. Dan masih banyak kemungkinan yang lain. (Permasalahan ini dibahas khusus di Ulumul Qur'an)
Tidak banyak terjadi perbedaan dalam memahami lafald al-Qur'an, lantaran problem yang dihadapi umat pada masa ini tidak serumit sekarang. Sudah barang tentu, para sahabat memerlukan seseorang yang sanggup menjelaskan makna dari ayat yang tidak mereka pahami tersebut. Dalam hal ini, Nabi lah yang menjelaskan kepada mereka ayat itu. Nabi Muhammad SAW itu merupakan "The First Interpreter of The Holy Qoran", yang berarti penafsir al-Qur'an pertama dalam sejarah. Misalnya ketika turun firman Allah SWT,
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan doktrin mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang menerima keamanan dan mereka itu yaitu orang-orang yang menerima petunjuk". (QS. Al An'am : 82)
al Qur'an pada masa Nabi Muhammad SAW. memang belum termodifikasi dengan baik, sekalipun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Bisa dikatakan, penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada masa ini merupakan masa embrio (pembentukan) tumbuhnya ilmu al-Qur'an dimasa mendatang. Bisa disimpulkan ilmu tafsir sebagai Ummu 'Ulumil Qur'an, ilmu induk al-Qur'an pada masa ini masih belum tepat dan belum menjadi sebuah karya tafsir yang utuh. Artinya al-Qur'an tidak ditafsirkan semua, hanya ayat yang dianggap sulit pengetiannya yang diberikan penafsiran.
Ilmu al-Qur'an termasuk ilmu tafsir pada masa Nabi SAW, bersifat Tatbiqi 'Amaly yang artinya sudah teraplikasi dalam sikap berperilaku terhadap al-Qur'an, namun belum tertata dan dikaji secara sistematis serta belum dibukukan. Praktis, belum dikenal penafsiran secara ilmi, fiqhi, atau madzhabi.
Selain itu, penafsiran dikala itu merupakan bentuk perkembangan dari hadits, bahkan merupakan bentuk perkembangan hadis. Dari sini kemudian penafsiran berkembang bertahap seiring dengan perkembangan zaman dan semakin multi dimensi problematika yang dihadapi umat. Lanjut Ke masa Al Khulafaaur Raasyidin.
Awal dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur'an tak lepas dari tugas para sahabat dan penerusnya dalam memahami atau menafsirkan al-Qur'an. Sebuah kenyataan pasti, bahwa al-Qur'an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan berbahasa Arab. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt,
"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (QS. Fushilat : 3)
Nabi Muhammad saw, sebagai objek penerimaan wahyu dan para sahabatnya sudah barang tentu memahami al-Qur'an yang diturunkan kepada mereka lantaran diturunkan dalam bahasa mereka sendiri. Namun, sebagaimana bahasa yang lain, bahasa Arab mempunyai akar rumpun dan ragam yang berbeda-beda. Biasanya disandarkan dan digunakan oleh suatu kabilah atau suku tertentu.
Wajarlah, bila pembukuan al-Qur'an yang ketiga yaitu pada masa Sahabat Usman bin Affan, dia berpesan kepada panitia yang dibentuknya dan diketuai oleh Zaid bin Tsabit, semoga bila terjadi perselisihan yang diakibatkan oleh perbedaan lahjah dan dialek semoga merujuk pada dialek suku Quraisy. Sebab al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bersuku Quraisy.
Adakalanya, al-Qur'an menggunakan bahasa dari suku lain yang belum diketahui oleh suku lain, atau bahkan menggunakan bahasa 'Ajam atau selain bahasa Arab. Misalnya bahasa Persia, namun tereduksi dalam bahasa Arab. Dan masih banyak kemungkinan yang lain. (Permasalahan ini dibahas khusus di Ulumul Qur'an)
Tidak banyak terjadi perbedaan dalam memahami lafald al-Qur'an, lantaran problem yang dihadapi umat pada masa ini tidak serumit sekarang. Sudah barang tentu, para sahabat memerlukan seseorang yang sanggup menjelaskan makna dari ayat yang tidak mereka pahami tersebut. Dalam hal ini, Nabi lah yang menjelaskan kepada mereka ayat itu. Nabi Muhammad SAW itu merupakan "The First Interpreter of The Holy Qoran", yang berarti penafsir al-Qur'an pertama dalam sejarah. Misalnya ketika turun firman Allah SWT,
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan doktrin mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang menerima keamanan dan mereka itu yaitu orang-orang yang menerima petunjuk". (QS. Al An'am : 82)
al Qur'an pada masa Nabi Muhammad SAW. memang belum termodifikasi dengan baik, sekalipun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Bisa dikatakan, penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada masa ini merupakan masa embrio (pembentukan) tumbuhnya ilmu al-Qur'an dimasa mendatang. Bisa disimpulkan ilmu tafsir sebagai Ummu 'Ulumil Qur'an, ilmu induk al-Qur'an pada masa ini masih belum tepat dan belum menjadi sebuah karya tafsir yang utuh. Artinya al-Qur'an tidak ditafsirkan semua, hanya ayat yang dianggap sulit pengetiannya yang diberikan penafsiran.
Ilmu al-Qur'an termasuk ilmu tafsir pada masa Nabi SAW, bersifat Tatbiqi 'Amaly yang artinya sudah teraplikasi dalam sikap berperilaku terhadap al-Qur'an, namun belum tertata dan dikaji secara sistematis serta belum dibukukan. Praktis, belum dikenal penafsiran secara ilmi, fiqhi, atau madzhabi.
Selain itu, penafsiran dikala itu merupakan bentuk perkembangan dari hadits, bahkan merupakan bentuk perkembangan hadis. Dari sini kemudian penafsiran berkembang bertahap seiring dengan perkembangan zaman dan semakin multi dimensi problematika yang dihadapi umat. Lanjut Ke masa Al Khulafaaur Raasyidin.
Baca juga : Al-Qur'an Pada Masa Al Khulafaur Rasyidin
Demikian pemaparan mengenai artikel dengan judul Sejarah Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Pada Masa Rasulullah SAW. Semoga sanggup menambah wawasan lebih dalam mengenai al quran. Terima kasih sudah berkunjung ke blog kami dan jangan lupa baca artikel yang lainnya.
sumber: Ziyad Ul Haq