Faktor-Faktor Kemunduran Dan Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah
Kemunduran dan kejatuhan Dinasti Bani Umayyah disebabkan lantaran faktor berikut ini:
1. Berfoya-foya Dalam Kemewahan
Hal ini terjadi lantaran meningkatnya kekayaan negara dan melimpahnya budak pada masa itu. Sejarawan at-Tabari (jilid II), al-Ya‘qubi (jilid II), dan al-Mas‘udi (jilid VI) menyerupai yang dikutip oleh Philip K. Hitti, mengemukakan para penguasa Dinasti Bani Umayyah menyerupai Yazid ibn Muawiyah lebih suka berburu, minum-minuman, karam dalam alunan musik dan nyanyian merdu, ketimbang membaca Al-Qur'an dan mengurusi Negara. Perilaku jelek kelas penguasa hanyalah citra kecil dari kebobrokan moral yang bersifat umum. Buruknya kebiasaan, terutama minum-minuman keras, perempuan, dan nyanyian, telah menjangkiti para perjaka penguasa Dinasti Bani Umayyah, dan pada kesudahannya melemahkan daya juang mereka menyerupai yang dicontohkan para Khulafaurrasyidin.
2. Kesukuan dan Sistem Kerajaan
Ukhuwah Islamiyah yang dibangun menurut Islam pada mulanya berhasil mengatasi disintegrasi yang selalu membayang-bayangi kehidupan sosial masyarakat Arab. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, hal itu tidak sanggup dipertahankan lagi. Kelemahan klasik dan khas dari kehidupan sosial orang Arab yang lebih menekankan individualisme dan semangat kesukuan (asyabiyah), pertikaian antar suku, menampakkan perwujudannya. Perpecahan antar suku, etnis dan golongan politik inilah yang menjadi lantaran utama terjadinya gejolak dan kerusuhan.
Suku orang Arab Utara berbeda dengan Arab Selatan. Orang Arab Utara mengklaim sebagai keturunan Ismail dan menyebut diri mereka sebagai keluarga Adnan, tidak pernah bersatu dengan orang Arab Selatan, yang berasal dari keluarga Qahthan. Muawiyah pendiri Dinasti Bani Umayyah membangun kerajaannya di Suriah atas proteksi orang-orang Yaman (Arab Selatan). Penerusnya Yazid, dilahirkan dari seorang ibu dari suku Kalb Yaman, dan istrinya juga seorang perempuan dari suku Kalb. Suku Qays (Arab Utara) tidak mau mengakui penerusnya, Muawiyah II, dan mengangkat khalifah gres Zubayr. Di masa Khalifah Al-Walid I, kekuasaan suku Qays mencapai puncak kejayaannya pada masa Hajjaj, dan saudara sepupunya Muhammad, penakluk India, dan pada masa Qutaibah, penakluk Asia Tengah. Saudara al-Walid, Sulaiman mendukung orang Yaman. Namun, Yazid II, lantaran efek ibunya dari keluarga Mudhar, mendukung orang Qays, menyerupai halnya al-Walid II; Yazid III mengandalkan pasukan dari Yaman untuk merebut kekuasaan dari tangan pendahulunya, al-Walid II. Di sini terlihat bahwa pertikaian terjadi lantaran masih kentalnya rasa kesukuan Arab Selatan dan Arab Utara. Pada final kekuasaan Dinasti Bani Umayyah, para khalifah bahwasanya bukanlah pemegang kedaulatan atas sebuah dinasti yang utuh, tetapi lebih merupakan pemimpin kelompok tertentu.
Di Damaskus sendiri pernah terjadi peperangan selama dua tahun hanya disebabkan seorang dari suku Ma'ad (Arab Utara) mencuri sebutir semangka dari kebun seorang suku Yaman (Arab Selatan). Di Murcia Spanyol juga pernah terjadi peperangan lantaran seorang suku Mudhor memetik daun flora rambat di pekarangan seorang suku Yaman. Kasus-kasus serupa sering terjadi di seluruh pelosok negeri yang bermuara pada rasa kesukuan yang berlebihan. Masalah-masalah menyerupai itu menjadi unsur potensial penyebab hentinya laju pasukan Islam di Perancis dan menjatuhkan kekhalifahan di Spanyol (Philip K. Hitti, 2005: 350).
Potensi perpecahan antar suku, golongan, kelompok politik, tumbuh semakin subur, mengakibatkan gejolak politik yang berakibat pada kekacauan yang mengganggu stabilitas negara. Kondisi semacam itu menjadi lebih runyam saat dihadapkan kepada suksesi kepemimpinan.
Walaupun menggunakan sistem kerajaan, tetapi tidak ada hukum yang baku perihal peralihan kekuasaan secara turun-temurun, turut andil menjadi gangguan serius pada negara. Dari 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah, hanya empat khalifah, Muawiyah, Yazid I, Marwan I, dan Abdul Malik, yang berhasil mewariskan kekuasaan pada anak-anaknya, selebihnya pada saudara-saudaranya. Di samping itu, sistem kerajaan melalui pewarisan juga disinyalir mengakibatkan masalah, lantaran seringkali yang ditunjuk sebagai raja ialah orang yang tidak memiliki keahlian untuk memimpin negara yang sangat luas itu. Ketika Negara dipimpin orang yang bukan ahlinya, maka sudah barang tentu akan terjadi problem-problem kenegaraan lantaran ketidakbecusan sang pemimpin dalam mengelola negara.
3. Munculnya Pemberontak
Kelompok Syi'ah tidak pernah menyetujui keluarga Dinasti Bani Umayyah menjadi penguasa. Pengabdian dan ketulusan mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. menerima simpati di kalangan masyarakat pendukungnya. Di sekeliling mereka berkumpul kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap Dinasti Bani Umayyah di bidang politik, sosial, ekonomi dan lain-lain. Orang-orang Iraq ialah pendukung Syi'ah, pada mulanya hanya dikecewakan lantaran tidak diberi kebebasan, sekarang beralih ke sentiment keagamaan. Kelompok Sunni pun kecewa dengan para penguasa Dinasti Bani Umayyah yang mereka nilai hanya mementingkan kehidupan duniawi, serta mengabaikan Al-Qur'an dan Hadits. Selain kedua kelompok tersebut, muncul dengan arif keluarga Abbas, paman Nabi Muhammad saw. yang mulai menuntut pemerintahan dengan cara bergabung dengan kelompok Syi‘ah. Dinasti Bani Umayyah yang mengambil kebijakan “Arab Centris,” juga mengakibatkan kebencian orang-orang non Arab khususnya Parsi. Mereka diperlakukan sebagai maula (mantan budak) dan tidak selalu bebas membayar pajak.
Di tengah-tengah kelompok yang kecewa itulah aliansi Abbas-Syi‘ah menemukan lahan untuk proganda dengan mengambil daerah Khurasan. Gerakan Abbasiyah yang terakhir dipimpin oleh Abu Abbas as-Saffah, berhubungan dengan kaum Syi‘ah, dan penduduk Khurasan dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani, berhasil mengalahkan tentara Bani Umayyah di Iraq. Penguasa terakhir dinasti ini, Marwan II melarikan diri ke Kufah dengan sisa-sisa tentaranya. Lima bulan pertama pada tahun 750 M, dalam pertempuran Zab, pasukan Abbasiyah berhasil mengalahkan tentara Marwan II. Ia melarikan diri ke Syria, Palestina, Mesir, dan ditangkap di sana oleh pasukan Abbasiyah, kemudian dieksekusi mati. Pada tahun 750 itu juga, Abu Abbas as-Saffah menobatkan dirinya sebagai penguasa gres Dinasti Bani Abbasiyah.