Belum Laksanakan Csr, Pt.Bridgestone Tire Indonesia Sanggup Proper Merah
BEKASI, Kabar XXI.Com – Belum final dengan permasalahan CSR (Corporate Social Responsibility) dari PT Bridgestone Tire Indonesia dengan warga Sawah PLN RT 05/01 Kelurahan Harapan Jaya dan pemkot Bekasi, ternyata PT Bridgestone Tire Indonesia termasuk salah satu perusahaan yang mendapat evaluasi PROPER MERAH atau sering disebut perusahaan yang tidak patuh terhadap pengelolaan lingkungan alias melanggar hukum yang sudah ditetapkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor : SK.613/Menlhk/Setjen/KUM.1/12/2018 perihal Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2017-2018 yang ditandatangani oleh Menteri KLH, Siti Nurbaya Bakar pada tanggal 21 Desember 2018.
Pada Lampiran IV terdapat 241 perusahaan yang memperoleh PROPER KATEGORI MERAH. Proper Kategori Merah merupakan evaluasi terhadap perusahaan yang tidak mengelola lingkungan sesuai dengan yang dipersyaratkan undang-undang. Trmasuk diantaranya PT.Bridgestone Tie Indonesia.
Pengamat dan pemerhati lingkungan, Tengku Imam Kobul M.Y.S mengakui ketidakpatuhan perusahaan dalam mengelola lingkungan disebabkan beberapa faktor. Namun, umumnya dikategorikan tiga faktor saja.
"Banyak dilema dalam pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, salah satunya PT Bridgestone Tire Indonesia. Mereka menganggap mengelola lingkungan dengan baik bukan merupakan potongan dari investasi, sehingga pengelolaan lingkungan menjadi asal-asalan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, namun yang lebih banyak didominasi dilapangan hanya tiga faktor utama. Pertama; perusahaan yang mengurus Izin Lingkungan hanya menggugurkan kewajiban semata, sehingga sehabis dokumen studi amdal jadi, acara yang menjadi kewajibannya untuk pinjaman dan pengelolaan lingkungan diabaikan begitu saja," terangnya ketika ditemui awak media KabarXXI di Bekasi (10/01/19).
Direktur Sosial dan Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sapulidi Imam Mengatakan dari hampir semua perusahaan tidak mempunyai administrasi dan karyawan yang fokus untuk mengelola lingkungan sesuai isyarat studi dokumen Amdal.
"Banyak perusahaan menempatkan kewajiban mengelola lingkungan berada di divisi legal, ME dan bahkan di produksi semata. Sehingga untuk mengelola dan memantau efek lingkungan yang terjadi dan akan terjadi tidak sanggup dipantau dan minimalisisr atau bila perlu dihilangkan," tegas Bang Imam, panggilan akrabnya.
Hal ini mengakibatkan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hanya sebatas kesepakatan diatas kertas (Dokumen Mati).
Imam, juga merangkap sebagai Anggota Komisi Penilai Amdal di Kota Bekasi mengungkapkan lemahnya pengawasan bahkan boleh dibilang pengawasan di beberapa kawasan nyaris tidak pernah dilaksanakan.
"Alasan klasik yang selalu muncul yakni kawasan menganggap hal itu bukan kewenangan mereka. Hal lainnya, lantaran alasan kekurangan personil (Staf Pengawas) dan minimnya anggaran pengawasan. Sehingga pengawasan hanya sebatas himbauan dan menunggu laporan semesteran dari perusahaan," jelasnya.
Disisi lain, imam menagatakan bahwa setiap barang tentu pengelolaan dan pemantauan lingkungan akan selalu diabaikan oleh perusahaan. Bahkan, beberapa perusahaan semenjak menciptakan dokumen Amdal, UKL-UPL tidak lagi pernah menunjukkan Laporan Semester yang seharusnya menjadi kewajiban setiap bulan sekali. Kemudian, dilema ketiga yakni adanya suap terhadap beberapa oknum, bahkan melibatkan pimpinan tertinggi di kawasan ibarat Bupati, Walikota dan Gubernur.
"Banyak Amdal, UKL-UPL perusahaan sudah menjadi 'bancakan' kepala kawasan dan oknum kepala dinas. Saat pembahasan Amdal misalnya, sudah ada bisik-bisik jikalau dokumen tersebut milik atau kerabat pimpinan daerah. Jika hal ini sudah terjadi, sudah barang tentu evaluasi Amdal-nya tidak akan sesuai dengan peraturan yang ada," ujar Imam.
Dia menilai, perusahaan biasanya lebih suka 'membayar upeti' dengan cara bertemu dengan pimpinan tertinggi atau kepala dinas terkait yang menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan begitu, perusahaan lebih gampang mendapat izin ketimbang mengurus sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Kalau ikut aturan, perusahaan banyak yang tidak memperoleh izin," jelasnya.
Dalam ungkapannya (imam-red), izin lingkungan masih menjadi salah satu “ATM Daerah” yang gampang dimanipulasi. Sehingga jangan heran, pengelolaan lingkungan oleh perusahaan ketika ini masih tergolong rendah. Sehingga pengelolaan lingkungan masih dianggap sumber dilema dan beban perusahaan.
"Padahal, idealnya pengelolaan lingkungan sudah menjadi salah satu nilai investasi bagi perusahaan," tutup Imam. (fajar)