Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dinamika Intelektual Pada Kala Khalifah Umar Bin Khattab, Lengkap!

Dinamika Intelektual Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab Dinamika Intelektual Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab, Lengkap!
       Dinamika Intelektual Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab - pada masa khalifah umar bin khattab banyak dinamika politik dan manajemen berupaka Selain dari memutuskan tahun hijriah yang dihitung dari semenjak berhirahnya nabi Muhammad Saw ke Madinah, pada masa  Umar Bin Khattab juga tercatat ijtihad-ijtihad baru. Beberapa sebab-sebab munculnya ijtihad gres di masa awal Islam berkataitan dengan al-Qur’an maupun sunnah.
Pada waktu itu dalam al-Qur’an sudah ditemukan kata-kata yang musytarak, makna lugas dan kiasan, kontradiksi nash, juga makna tekstual dan kontekstual. Hal ini yang mewarnai munculnya ijtihad Umar. Di sisi lain efek faktor ekonomi, sosial dan militer juga sangat besar, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka rakyat semakin heterogen.
a)      Kebijakan Hukum
Di antara hasil ijtihad Umar bin Khattab dalam implementasi aturan Islam yang tidak senada dengan aturan aliran normatif Islam yaitu sebagai berikut:[1]
1)      Tidak memperlihatkan jatah mu’allaf padahal ayat al-Qurān sudah terang menetapkannya. Dalam pandangan Umar, derma belahan zakat kepada golongan muallaf pada awalnya dilakukan lantaran melihat yang ada pada ketika itu, yaitu kondisi mental para muallaf yang masih rawan untuk sanggup kembali berbuat tidak baik kepada kelompok Islam, yang ketika itu juga masih dalam kondisi lemah. Oleh karenanya, kelompok ini perlu untuk diberikan. Akan tetapi berdasarkan Umar, ketika kondisi umat Islam telah bisa sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan dalam kondisi sangat kuat, maka derma tersebut tidak perlu dilakukan. Hal ini dilakukannya merupakan sebagai belahan dari siasat politik yang diterapkannya untuk memperkuat pemerintahan Islam ketika itu.[2] Implementasi aturan ini berseberangan dengan Surah at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ  قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِينَ و َفِي سَبِيلِ اللَّهِ و َاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً  مِنَ اللَّهِ و َاللَّهُ  عَلِيمٌ حَكِيمٌ  (60)[3]

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2)      Tidak memotong tangan pencuri lantaran kondisi sedang paceklik. Padahal ayat al-Qurān menyatakan dengan terang eksekusi potong tangan bagi pencuri. Implementasi aturan ini berseberangan dengan Surat al-Māidah ayat 38-39:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38) فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (39)[4]
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) setelah melaksanakan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka bahwasanya Allah mendapatkan taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
3)      Pada masa awal Islam, ketika Khaibar ditaklukkan, Nabi Muhammad mengambil kebijakan sebagai jatah harta rampasan maka 4/5 harus diberikan kepada bala tentara penakluk. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Umar lantaran kondisi keuangan di Baitul al-Māl sedang menipis sementara jumlah fakir miskin banyak. Sebab, ketika dibandingkan jumlah tentara dan penduduk satu lawan tiga. Akhirnya, Umar memutuskan bahwa tanah tetap menjadi milik penduduk yang ditaklukkan dan penduduk dibiarkan dalam kebebasan.
4)      Melarang umat Islam di masanya untuk menikah dengan perempuan ahlul al-Kitāb sementara ayat al-Qurān terang membolehkan. Alasan Umar yaitu bahwa ketika itu telah banyak umat Islam yang menikahi ahl al-Kitāb sehingga wibawa umat Islam menurun. Di samping itu, dikhawatirkan keturunannya akan meninggalkan Islam. Implementasi aturan ini berseberangan dengan Surat al-Māidah ayat 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(5) [5]
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan masakan kau halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan, di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kau telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir setelah beriman (tidak mendapatkan hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari selesai zaman termasuk orang-orang merugi
5)      Menetapkan ucapan talak satu kali sama dengan tiga kali, lantaran umat Islam banyak yang bermain-main dalam masalah talak. Bertentangan dengan Surat al-Baqarah ayat 229, sebagai berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ (229)[6]
Talak (yang sanggup dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
6)      Menetapkan jumlah eksekusi cambuk untuk pemabuk dari 40 yang ditetapkan oleh Hadith Nabi menjadi 80 biar pelakunya jerah.
b)      Kebijakan Peradilan
Dalam bidang peradilan, Umar populer dengan risalah qodhonya, yakni surat yang berisi aturan program peradilan meskipun masih sederhana. Surat yang mulanya ia kirimkan kepada qadhi Abu Musa al-Asy’ari di Kufah.[7] Dalam mata kuliah Sistem Peradilan Islam dan yang semacamnya, surat  Umar Bin Khattab ini dipandang sebagai aturan program pengadilan tertulis pertama dalam Islam.
c)      Kebijakan Ekonomi
Dalam perjalanannya menjadi khalīfah, Umar bin al-Khaţţāb mengumumkan kepada rakyat wacana pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata: “Barang siapa ingin bertanya wacana al-Qurān, maka datanglah pada ‘Ubay ibnu Ka’ab. Barang siapa bertanya  wacana ilmu  farāid (ilmu warisan), maka datanglah pada Zāid ibnu Tsābit. Barang siapa bertanya wacana harta, maka datanglah padaku. Karena  Allah SWT telah menjadikanku sebagai penjaga dan pembagi harta”. Di antara kebijakan-kebijakan Umar menggunakan dasar-dasar sebagai berikut :
(1). Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil kharaj atau harta fai’ yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui prosedur yang benar.
(2). Negara memperlihatkan hak atas kekayaan umum dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
(3). Negara tidak mendapatkan harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali menyerupai pemungutan harta anak yatim. Jika ia berkecukupan, ia tidak menerima belahan apapun. Kalau ia membutuhkan, maka ia menggunakan dengan jalan yang benar.
(4). Negara menggunakan kekayaan dengan benar. Strategi yang digunakan oleh Amīrul Mukminīn  Umar Bin Khattab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan, karena  Umar Bin Khattab memiliki kemampuan dalam mengatur ekonomi.[8]
d)     Kebijakan Zakat
Kewajiban dalam beramal di masa Umar telah kembali normal setelah dinetralkan oleh Abū Bakar ra dengan memerangi mereka yang membangkang. Setelah itu, Umar lebih berkonsentrasi dengan problem penerapannya yang dipercayakan kepadanya.
Dalam sebuah riwayat, Umar juga meringankan zakat tanaman, lantaran tidak semua yang dipanen sanggup mengembalikan modal perjuangan petani. Dengan demikian tidak semua buah yang dihasilkan bumi harus dikenakan zakat lantaran dikhawatirkan berkurang untuk kebutuhan pokok.  Dengan demikian Umar telah meletakkan dasar-dasar keadilan untuk penarikan zakat. Dia memperlihatkan petunjuk dengan melihat situasi dan kondisi biar benar-benar memperhatikan ketika pengambilan zakat. Dalam hal kebijakannya untuk tidak memperlihatkan belahan zakat  bagi salah satu  asnaf, yaitu kelompok  al-Mu’allaf ini, Umar mengeluarkan pendapatnya yang cukup tekenal: “Tidak ada kepentingan bagi kami atas kau (kamu masuk Islam atau tidak), lantaran Allah-lah yang menciptakan Islam jaya dan menciptakan kau kaya jikalau kau masuk Islam, dan jikalau tidak, maka hal itu tidak menjadi masalah antara kami dan kau semua”. 
Dari pendapat yang dikeluarkan Umar tersebut, beberapa  ulama banyak yang menentangnya, terutama dari golongan Shī’ah Imamiyah yang menyampaikan bahwa bagaimana mungkin Umar berani mengeluarkan kebijakan yang menyangkut pendistribusian zakat tersebut  kepada golongan mu’allaf yang telah ditetapkan dengan terang dalam nas al-Qurān untuk diberikan tetapi dibatalkannya, apakah boleh ijtihad dilakukan didasarkan pada pertimbangan istihsan dari sudut pandang rasional (‘aqlīyah) dan lantaran (‘illah) yang masih bersifat  dzanniyyah terhadap suatu nas yang telah terang (tsābit) mengaturnya.  Terhadap pertanyaan kontradiktif tersebut, dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa pendapat Umar tersebut yaitu didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang menuntut hal tersebut  (sebagaimana dijelaskan  Ustadh Kahlid Muhammad Khalid dalam bukunya  Al-Dimaqrathīyah. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam hal ini sosok Umar dianggap sebagai tokoh yang pertama kali memutuskan suatu aturan yang masih bersifat umum (tashri’ ‘am) dengan menggunakan metode yang gres yaitu berdasarkan pertimbangan kemaslahatan untuk menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj) dalam masyarakat. 
e)      Kebijakan Jizyah
Jizyah merupakan salah satu sumber pajak pada masa Umar. Jizyah dipungut dari non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam tapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan pada mereka merupakan pengganti dari imbalan atas kemudahan ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan yang mereka terima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan hidup dan harta mereka. Pajak ini menyerupai dengan zakat fitrah yang dipungut dari muslim setiap tahun.
Perjanjian dengan umat non muslim – ahlu dzimmah – tersebut sanggup memperlihatkan jaminan keamanan baik untuk diri mereka, harta dan agama. Selain merupakan kewajiban dari Allah SWT,  jizyah  juga merupakan dasar-dasar penegak aturan biar para kafir  dzimmi itu sanggup menikmati proteksi dari negara Islam, menyerupai pembangunan, pelayanan dan kemudahan yang ada, maka mereka harus ikut berpartisipasi dalam mengelola harta kekayaan umum. 
Adapun pembayarannya dilakukan setelah tiba masa panen, biar sesuai dengan situasi dan kondisi ahlu dzimmah. Mereka sanggup membayar setelah sumber untuk membayar jizyah telah tersedia, yaitu hasil bumi yang telah dipanen. Dengan demikian, hal itu memperlihatkan kemudahan dan keringan kepada mereka.
f)       Kebijakan ‘Usyur[9]
Kebijakan di bidang ‘usyur yang pada masa Rasulullah dan Abu Bakar belum diperkenalkan pada ummat sekarang mulai diterapkan di negara Islam pada masa  Umar Bin Khattab, yang berlandaskan demi penegakan keadilan.  ‘Usyur  telah diambil dari para pedagang kaum muslimin jikalau mereka mendatangi tempat lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin al-Khaţţāb memutuskan untuk memperlakukan pedagang non muslim dengan perlakukan yang sama jikalau mereka masuk  ke negara Islam.[10]
mungkin itu sedikit isu seputar Dinamika Intelektual Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab, terimakasih atas kunjungan anda, terimakasih




[1]Kebijakan-kebijakan ini bisa dilihat di buku-buku sejarah wacana khalīfah Umar, menyerupai karya Husain Haikal, Muhammad Redha, Jalaluddin al-Suyuti dan lainnya.
[2]‘Ali Muhammad as-Shalabi, Umar bin Khaţţāb His Life and Times (Beirut: International Publishing House, 1999), 56.
[3]Al-Qurān, 9: 60.
[4]Ibid., 5: 38-39.
[5]Ibid., 5: 5.
[6]Ibid., 2: 229.
[7]Hasbiy as-Shidqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 26.
[8]Muhammad Redha, al-Farouk the Second Caliph, terj. Muhhammad Agha (Beirut: International Publishing house, 1999), 74.

[9]‘Usyur yaitu pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam, atau tiba dari negara Islam itu sendiri. peraturan usyr ini telah ada semenjak zaman sebelum Islam, yaitu menyerupai yang diterapkan oleh orang-orang Yunani. 
[10]Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, 46.