Kronologi Perang Shiffin Pada Khalifah Ali Bin Abi Tholib, Lengkap!
Kronologi Perang Shiffin Pada Khalifah Ali bin Abi Tholib - Disebut perang shiffin sebab perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin akrab tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.[1]
Setelah janjkematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam semenjak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas janjkematian Utsman kepada Ali semoga mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak mampu untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau memilih pilihan sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
![]() |
http://sejarahislamarab.blogspot.com |
Dengan alasan khalifah Ali tidak mampu menegakkan aturan sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, alhasil Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di daerahnya menentang Ali, sehingga menerima kontribusi dan simpati dari secara umum dikuasai pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun berdasarkan andal sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu bahwasanya tidak murni menuntut balas atas janjkematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan kontribusi pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak anjuran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, semoga Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah berkemas-kemas melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi ajun Mu’awiyah dan populer sebagai spesialis siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.[2]
Dari pihak Ali mendesak mendapatkan anjuran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat hati mendapatkan arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya siasat dari Amr bin Ash. Sebagai mediator dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian sesudah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash lalu mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah kini yaitu Mu’awiyah.[3]
Bagimanapun kejadian tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah yaitu Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur tempat yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.[4]
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu tidaklah berdasarkan aturan Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang lalu dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam sebab tidak berhukum pada aturan Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendapatkan arbitrase yaitu kafir.[5]
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi lalu bermetamorfosis sebuah pemikiran dalam pemahaman agama Islam (sekte).
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Shiffin
[2] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, 14-15
[3] Ibid, 16
[4]Harun, Nasution, Telogi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986),5.
[5] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 306-307