Kelahiran Muhammad
Tepat 50 hari sehabis insiden penyerbuan pasukan gajah ke Ka’bah, usia kandungan Aminah telah mencapai sembilan bulan. Detik-detik kelahiran sang buah hati kian mendekat. Aminah mulai mencicipi ada yang bergerak-gerak cepat di dalam perutnya. Semakin usang gerakannya semakin kuat. Aminah tidak kuasa menahan sakit. Ia segera berbaring di daerah tidur. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Tangannya mencengkeram kain selimut, menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Tak usang berselang, keluar sesosok bayi mungil dari rahim Aminah. Dialah Muhammad. Ada riwayat yang menyampaikan tali pusar bayi itu telah terpotong dan kemaluannya telah dikhitan. (as-Sirah an-Nabawiyyah). Namun, ada juga ulama yang beropini bahwa Muhammad kecil dikhitan oleh kak eknya.
Hari itu, Senin, 12 Rabi’ul Awal--bertepatan dengan 22 April 571 M berdasarkan penelitian ulama terkemuka, Muhammad Sulaimân aI-Manshurfuri--seorang anak yang akan mengubah peradaban dunia, telah lahir. Aminah berjuang sendirian melahirkan Muhammad, tanpa didampingi suaminya tercinta.
Beberapa tanda kenabian muncul mengiringi kelahiran Muhammad. “Ketika saya melahirkannya, danri rahimku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syâm,” ujar Aminah (Musnad Ahmad dan Sunan ad-Dârimi).
Kemudian, ketika Muhammad lahir, berhala-berhala berjatuhan; istana Kisra terguncang, dan api persembahan orang Persia padam. Riwayat ini cukup mahsyur meski tidak berada pada derajat shahih.
Aminah segera mengirim utusan ke ‘Abdul Muthallib, untuk mengabarkan kelahiran cucunya. Begitu mendapat kabar itu, ‘Abdul Muthallib segera menjenguknya. Setibanya di rumah Aminah, ia menyaksikan pemandangan menakjubkan. Tembikar daerah bayi Muhammad diletakkan, tiba-tiba terbelah dua.
‘Abdul Muthallib segera menimang cucunya. Dia tahu kelak Muhammad akan menjadi insan besar berdasarkan kabar dari RajaYaman, Saif bin Dzi Yasn, serta Umayyah bin Abi Shalt dan orang-o rang yang memahami Taurat dan Injil. Sang kakek eksklusif memboyong cucunya itu masuk Ka’bah, seraya berdoa dan bersyukur kepada Allah. (Ibnu Hisyâm)
Asal Mula Nama Muhammad
Seseorang mendatangi Aminah ketika ia mengandung. Lalu, orang itu berkata, “Apabila anak ini telah lahir, berilah ia nama Muhammad. Karena bergotong-royong namanya di dalam Kitab Taurat dan Alkitab ialah Ahmad. Semoga dengan nama itu, ia dipuji oleh seluruh penduduk langit dan bumi, sedangkan namanya di dalam al-Qur’an ialah Muhammad.” (Ibnu Ishaq dan Baihaqi)
Aminah segera memberi tahu hal itu kepada ‘Abdul Muthallib. Sang kakek kemudian memberinya nama Muhammad ketika ‘Abdul Muthallib mengadakan aqiqah dan mengundang para pembesar Quraisy. “Apa nama yang akan engkau berikan?” tanya para pembesar Quraisy. “Aku akan memberinya nama Muhammad.” Mereka semua terkejut mendengar nama yang diberikan ‘Abdul Muthallib. “Mengapa engkau tidak suka menamainya dengan nama nenek moyangmu?” “Aku ingin biar dia dipuji oleh para penduduk bumi dan mendapat kebanggaan di langit,” jawab ‘Abdul Muthallib.
Rasulullah saw juga mempunyai nama yang lain, yaitu Ahmad. Artinya tidak ada seorang pun yang memuji Tuhannya melebihi kebanggaan yang dilakukan Rasulullah saw. Jadi, setiap orang yang memuji Tuhannya, maka Rasulullah saw lebih tinggi lagi pujiannya. Nama inilah yang terdapat di dalam Injil. Nama Rasulullah saw selengkapnya ialah Muhammad bin ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim bin ‘Abdu Manâf bin Qushai bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin Nadhar bin Kinânah bin Khuzaimah bin Mudrihah bin Ilyâs bin Mudhar bin Nizâr bin Ma’ad bin ‘Adnân. Sedangkan, Fihr ialah nenek moyang suku Quraisy.
NAMA LAIN MUHAMMAD Rasulullah saw pernah berkata, “Sesungguhnya saya ini mempunyai beberapa nama: saya ialah Muhammad, saya ialah Ahmad, saya ialah Mahi (Si Penghapus) yang diutus Allah untuk menghapus kekafiran, saya ialah Hasyir (Si Penghimpun) yang mengumpulkan orang-orang di bawah kekuasaanku, dan saya ialah ‘Aqib. Zuhri mengatakan, “Arti ‘Aqib ialah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi setelahnya.” (HR. Bukhâri/aI-Fath) Dalam riwayat lbnu Sa’ad ada pelengkap nama, yaitu “...dan al-Khatim (penutup)... “(ath Thabaqat). Nama lain ialah al-Muqaffa (orang yang dimuliakan) dan Nabiy ar-Rahmah yang artinya “Utusan pembawa rahmat” (Shahih Muslim). Muhammad juga diberi nama Nabiy al-Malahim yang artinya “Utusan yang bertugas menyatukan” (asy-Syama’il).
Peta Google letak rumah kelahiran Rasulullah saw dan tampak depan rumah kelahiran Rasulullah saw yang ketika ini menjadi gedung perpustakaan |
Di Tengah Kabilah Bani Sa’ad
Abdul Muthallib dan Aminah begitu senang dengan kehadiran Muhammad. Keduanya tidak pernah berhenti menimang Muhammad kecil. Senyum kebahagiaan tersungging di kedua bibir mereka. Namun, kegembiraan itu harus segera diakhiri untuk sementara. Bayi yang mungil dan lucu itu harus segera dicarikan perempuan yang sanggup menyusuinya.
Ini tradisi bangsa ‘Arab. Seorang bayi yang dilahirkan dari kalangan mereka harus disusui perempuan lain. Ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan daya tahan badan bayi, menguatkan otot, dan memelihara kefasihan berbicara ibarat ibu mereka, alasannya ialah keluarga yang menyusui bertugas melatih bahasa ‘Arab bayi yang disusuinya.
Wanita yang beruntung itu ialah Halimah binti Abi Dzuaib dari kabilah Bani Sa’ad bin Bakar. Suaminya berjulukan al-Harits bin ‘Abdul ‘Uzzâ, yang biasa dipanggil Abu Kabsyah, dan kabilah yang sama. Ayahnya berjulukan ‘Abdullâh bin al Hârits bin Syijnah bin Jâbir bin Rizâm bin Nashirah bin Fushiyah bin Sa’ad bin Bakar bin Hawazin.
Dikisahkan, Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar yang berkata bahwa Halimah pernah mendatangi Nabi saw. Ia disambut dia dengan menggelar selendangnya untuk sang ibu. Halimah kemudian duduk di atas selendang tersebut.
Dalam cerita lain, Abu Dâwud, Abu Ya’lâ, dan lainnya meriwayatkan melalui jalur Imarah bin Tsaubân dan Abu Thufail, bahwa Nabi pernah berada di Ji’ranah membagikan daging. Tiba-tiba ada seorang perempuan tiba membawa wadah mendekati Nabi saw. Saat itu juga, Rasulullah saw menggelar selendangnya untuk perempuan tersebut.
“Siapa perempuan itu?” tanya Abu Thufail.
“Dia ialah ibu yang pernah menyusui Rasulullah,” jawab orang-orang.
Halimah dan keluarganya bukan orang berkecukupan. Dia tiba ke Makkah di demam isu paceklik, mengendarai keledai putih yang sangat lambat alasannya ialah lemah dan kurus. Dia juga membawa seekor unta yang tidak lagi sanggup memperlihatkan susu. Dia juga membawa anaknya yang masih bayi yang sering menangis sepanjang malam alasannya ialah kelaparan. Akan tetapi, dia tidak pernah menduga, keputusannya mengambil Muhammad kecil untuk disusui berbuah keberkahan.
Setiap enam bulan sekali, Halimah tiba ke Makkah menemui ibunda Muhammad hingga masa susuan usai. Berakhirnya masa susuan menciptakan Halimah sedih. Tidak usang lagi ia akan berpisah dan Muhammad kecil. Halimah tidak ingin berada jauh dari Muhammad. Ia sangat mencintai Muhammad kecil ibarat menyay angi anaknya sendiri. Batinnya bergolak. Ia bingung. Muhammad kecil terus ditatap oleh Halimah. Tatapan kasih sayang seorang ibu yang enggan berpisah dengan buah hatinya tercinta. Tidak terasa, bola matanya membasah.
Ia memberanikan diri mendatangi Aminah meminta biar Muhammad kecil tetap tinggal bersamanya.
“Kami sangat berharap biar dia bisa tinggal bersama kami, alasannya ialah kami mendapat banyak keberkahan,” kata Halimah kepada Aminah.
Dalam pengakuannya sendiri, Halimah mengatakan, “Kami bermusyawarah dengan ibunya, dan saya (Halimah) katakan kepadanya, ‘Bagaimana jikalau anak ini kamu biarkan tinggal bersama kami hingga dia kuat, alasannya ialah saya sangat khawatir dia terkena penyakit yang sedang mewabah di Makkah!”
Dengan berat hati, Aminah mengizinkan Halimah untuk mengurus Muhammad lebih usang lagi. Selain Muhammad kecil, Halimah juga menyusui beberapa bayi lainnya, sehingga bayi-bayi itu menjadi saudara sesusuan Muhammad. Mereka di antaranya:
‘Abdullâh bin Hârits; Anisah binti Hârits; Hudzâfah atau Judzâmah binti Harits, dialah yang bergelar asy—Syaima yang kemudian lebih terkenal daripada nama aslinya, dia juga yang merawat Rasulullah saw; serta Abü Sufyân bin al-Hârits bin ‘Abdul Muthallib, saudara sepupu Rasulullah saw.
Paman Nabi saw, Hamzah bin ‘Abdul Muthallib, juga disusui di tengah kabilah Bani Sa’ad bin Bakar. Dengan demikian, Hamzah merupakan saudara sesusuan Rasulullah saw dari dua sisi: Tsuaibah dan Halimah as-Sa’diyyah.
Pembedahan Dada
Muhammad kecil telah berusia empat rahun. Suatu siang, ketika ia tengah bermain di perkampungan Bani Sa’ad bersama teman-tcman sebayanya, malaikat Jibril mendatangi dan mendekati Muhammad. Tangan mungil Muhammad dipegang malaikat Jibril. Muhammad kaget. Belum habis rasa terk ejutnya, Jibril segera merengkuh tubuhnya hingga Muhammad pingsan.
Jibril bergerak cepat. Ia buka baju Muhammad, kemudian membedah dada Muhammad dan mengambil hatinya. Segumpal darah dikeluarkan Jibril dan hati tersebut.
“ini bab setan dalam dirimu!” kata Jibril. Dia mencuci gumpalan darah itu di dalam baskom emas dengan air zamzam. Setelah hati itu bersih, dia kembalikan ke daerah semula di dalam badan Muhammad. (HR. Muslim)
Peristiwa ini menciptakan teman-teman Sebayanya lari ketakutan. Mereka mencari ibu susuan Muhammad sambil berteriak-teriak.
“Muhammad telah dibunuh!”
Letak Bani Saad |
Hikmah Nabi saw diasuh Bani Sa’ad Pertumbuhan seorang anak di tengah pedalaman yang lingkungannya masih alami, udaranya terbuka, dan anginnya segar, serta pencahayaannya sempurna, menjadikan tabiat seorang anak lembut, fisik dan indranya cepat berkembang, daya pikirnya jernih, serta perasaannya halus. (Syaikh Muhammad aI-Ghazali)
Halimah terkejut mendengarnya. Bersama dengan kaum Bani Sa’ad lainnya, ia mendatangi Muhammad. Sesampainya di sana, mereka bertambah terkejut. Muhammad tampak berdiri. Ia terlihat sehat. Bahkan, rona wajahnya berubah drastis, tampak lebih cerah dan memancarkan sinar kemuliaan.
Anas berkata, “Sungguh saya telah melihat bekas jahitan itu di dada Nabi saw.” (HR. Muslim)
Peristiwa itu terus membekas di pikiran Halimah. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Muhammad. Halimah menjadi cemas terhadap keselamatan anak susuannya itu. Sebuah keputusan penting diambilnya: ia mengembalikan Muhammad kepada Aminah.
Pembedahan dada Muhammad tidak hanya terjadi ketika dia masih dalam pengasuhan Halimah. Menurut Ahmad dan Ibnu Asakir, hal serupa juga terjadi ketika Muhammad berusia 10 tahun lebih beberapa bulan. (al-Fahi ar-Rabbani dan Tarikh Madinah Dimasyqi)
Sementara itu, ada juga yang berpendapat, pembedahan dada Muhammad dilakukan untuk kali kedua pada ketika dia berusia 50 tahun. Peristiwa ini terjadi ketika dia melaksanakan Isrâ’ ke Baitul Maqdis. (HR. Bukhâri, Ahmad, Hâkim, dan Tirmidzi) Pendapat ini didukung oleh adz-Dzahabi dalam bukunya as-Sirah an-Na bawiyyah.
Pembedahan dada Muhammad ini, hingga kini masih saja diragukan oleh kalangan rasionalis, orientalis, atau sebagian kalangan umat Islam. Mereka berpendapat, insiden tersebut tak ubahnya sebuah mitos, perumpamaan dan ungkapan-ungkapan lain yang satu makna.
Ibnu hajar menyangkal sernua pendapat itu. Menurutnya, pembedahan dada, pengambilan hati, dan semua hal yang terkait dengan insiden tersebur merupakan hal yang luar biasa yang harus diterima apa adanya tanpa perlu beropini untuk mewaspadai kebenarannya. Karena, itu semua merupakan kekuasaan Allah. Dan bagi Allah, tidak ada hal yang mustahil. (al-Fath)
Bagi kita yang Muslim, tidak ada ruang untuk mewaspadai kebenaran insiden itu. Logikanya sederhana. Ukuran diterimanya sebuah hadits atau riwayat terletak pada sejauh mana kesahihan jalur dan sumber periwayatannya. Hadits atau riwayat yang mengisahkan wacana pembedahan dada Muhammad telah diterima dan derajat kesahihannya tak perlu diragukan. Artinya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menafsirkan secara berbeda insiden tersebut dengan makna bergotong-royong berdasarkan logika manusia, ibarat yang telah dilakukan kalangan rasionalis, orientalis, dan sebagainya.
Hikmah Pembedahan Dada Nabi saw Dibedahnya dada Muhammad, kata DR. Ramadhân al-Buthi, mengandung hikmah:
1) Memberitahukan keberadaannya sebagai Rasul yang maksum (bersih dari dosa) dan menyiapkannya sebagai pembawa wahyu Ilahi;
2) Agar insan lebih gampang memercayai dan membenarkan risalahnya;
3) Sebagai prosesi pembersihan jiwa, dengan cara yang bisa diterima indra manusia, dengan mengambil segumpal darah dan hati Muhammad saw, sehingga dia terbebas dari segala kegiatan yang tidak bermanfaat dan berbahaya;
4) Membentuk huruf Nabi saw sebagai pribadi yang tangguh, teguh, bijak, dan kesatria. Tidak ada ruang bagi setan untuk menarik hati dan menjerumuskannya.
BERKAH BAGI KELUARGA HALIMAH Aminah bangun mematung di pintu rumahnya sambil menggendong Muhammad kecil. Sudah cukup usang ia di sana, menunggu perempuan dari kabilah BaiI Sa’ad yang akan menjadi ibu susu anaknya. Namun, tidak satu pun rombongan perempuan itu mendekatinya. Mereka enggan menyusui Muhammad kecil alasannya ialah sang bayi hanyalah anak yatim. Tidak ada harta yang sanggup diberikan oleh seorang anak yatim, pikir mereka. Sementara mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi. Butuh masakan dan harta untuk menyambung hidup.
Aminah tetap tegar berdiri. Tidak lama, datanglah Halimah menghampiri Aminah. “Izinkan saya menjadi ibu susunya,” ujar Halimah kepada Aminah. Halimah membawa bayi Muhammad pergi ke kampung halamannya dengan menaiki unta. Dia memangku Muhammad kecil.
Di tengah perjalanan, ketika Ia hendak menyusui sang bayi, seketika air susunya terasa penuh. Ia pun menyusui Muhammad hingga kenyang. Anaknya yang selalu menangis kelaparan sepanjang perjalanan, juga disusuinya hingga tertidur pulas. Ketika sang suami menghampiri untanya, ia mendapati puting susu unta itu penuh air susu. Ia pun memerah susu itu kemudian diminum bersama istrinya hingga puas, kemudian mereka tidur pulas malam itu. Saat keduanya kembali ke desa Bani Sa’ad, Halimah menunggangi unta itu bersama Muhammad kecil. Anehnya, unta yang semula tak bisa bergerak cepat, kini bisa berlari kencang, hingga tak satu pun unta lain yang bisa menyusul. Mereka hingga di desa lebih cepat. Setelah hingga di desa mereka yang kering alasannya ialah paceklik, mereka mendapati domba-domba mereka dalam keadaan gemuk dan penuh dengan susu. Keduanya pun memerah susu domba mereka. Padahal, ketika itu tak ada seorang pun di desa itu yang bisa memerah susu.