Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Umar Bin Khaththab Masuk Islam

     
Hiasan pada salah satu pedang Umar bin Khaththab ra.

Hiasan pada salah satu pedang Umar bin Khaththab ra Umar bin Khaththab Masuk Islam

     Hanya tiga hari sehabis Hamzah memeluk Islam, ‘Umar bin Khaththâb menyusulnya. Jauh sebelum itu, Nabi saw memang telah berdoa biar ‘Umar masuk Islam. 

     “Ya Allah, kukuhkanlah Islam ini dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai: ‘Umar bin Khaththâb atau Abu Jahal bin Hisyâm.” Ternyata, yang paling dicintai oleh Allah yakni ‘Umar. (HR. Tirmidzi). 

     Islam masuk ke dalam hati ‘Umar secara perlahan. Pada suatu hari, ia bermalam di luar rumahnya, kemudian pergi menuju Masjid al-Haram dan masuk ke dalam tirai Ka’bah. Saat itu, Nabi saw tengah shalat dan membaca surah al-Haqqah. ‘Umar mendengarkannya dengan khusyuk dan ia sangat terkesan dengan susunan kalimat dalam surah tersebut. 

     “Demi Allah, ini yakni (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!” kata ‘Umar. 

     Lalu Nabi saw meneruskan bacaannya. Innahu laqaulu rasulin karim. Wa ma huwa biqauli sya ‘ir. Qalilan ma tu’minun (Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepad a) Rasul yang mulia, dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman padanya). (QS. al-Haqqah [69]: 40-41). 

     “Ini yakni (ucapan) tukang tenung,” ujar ‘Umar sehabis mendengar ayat-ayat tersebut.


     Nabi saw kembali melanjutkan bacaannya. Wa Ia biqauli kahin. Qalilan ma tadzakkarun. Tanzilun in rabbil ‘alamin (Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia yakni wahyu yang diturunkan dan Tuhan alam semesta). (QS. al-Haqqah [69]: 42-43). 

     Rasulullah saw membaca hingga final surah. Setelah itu, ‘Umar tak kuasa menahan gejolak di dalam dirinya. “Ketika itulah Islam memasuki relung hatiku,” ucap ‘Umar. (Tarikh ‘Umar bin Khaththab, Ibnu Jauzi, Ibnu Hisyâm). 

     Inilah benih Islam pertama yang merasuk ke dalam relung hati ‘Umar bin Khaththâb. Namun demikian, dia masih memusuhi Islam. Di antara bukti kasatmata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang telah di luar batas pada Rasulullah saw yakni ketika dia menghunus pedang hendak membunuh Rasulullah saw. 

     Saat itu dia bertemu dengan Nu’aim bin ‘Abdullah an-Nahham al-’Adawi (Ibnu Hisyâm). Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Seseorang dari suku Bani Zahrah” (Lihat Tarikh ‘Umar, Ibnu Jauzi); atau seseorang dari suku Bani Makhzum sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbâs. (Mukhtashar as sirah, Syekh ‘Abdullah). 

    Orang tcrsebut berkata, “Hendak ke mana engkau, wahai ‘Umar?” 

     “Aku ingin mcmbunuh Muhammad.” 

     “Kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa kondusif dari kejaran Bani Hâsyim dan Bani Zahrah?” kata orang itu lagi kepada ‘Umar. 

     “Menurutku, kini ini engkau telah menjadi penganut ash-Shabiah (Islam, red.) dan keluar dari agamamu,” kata ‘Umar kepada orang yang menegurnya. 
Lalu orang itu berkata lagi kepada ‘Umar. 


ABU JAHAL MENGHINA UMAR
Status barunya sebagai Muslim menciptakan Umar bangga. Ia pun tak takut untuk mengabarkan ke semua penduduk Makkah bahwa ia telah menjadi pengikut nabi Muhammad saw. Suatu saat, ia teringat pada Abu Jahal, orang yang bersikap paling keras dan jahat pada Rasulullah saw.
     Ia memutuskan untuk mendatanginya. Umar mengetuk pintu rumah Abu Jahal.
     "Rupanya engkau, Umar. Selamat datang. Ada apa denganmu," ucap Abu Jahal dikala menyambut Umar.
     "Aku tiba untuk memberi tahumu bahwa saya telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya,"jawab Umar dengan tegas, tanpa rasa takut.
     Abu Jahal naik pitam. Mukanya merah memendam amarah. Ia eksklusif menggebrak pintu di depan wajah Umar.
     "Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa." (Ibnu Ishaq).

     “Maukah saya tunjukkan kepadamu yang lebih mengejutkan lagi, wahai ‘Umar? Sesungguhnya Fathimah, adik perempuanmu dan suaminya, Sa’id bin Zaid juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan meninggalkan agama mereka berdua yang kini ini!” 

     ‘Umar terkejut mendengarnya. Ia segera berangkat mencari keduanya. Ketika bertemu, ia menjumpai salah satu sahabat Rasulullah saw, Khabbâb bin al-Arts yang membawa shahifah (lembaran al-Qur’an) bertuliskan “surah Thahâ”. Khabbâb membacakan sutrah tersebut untuk kedua orang yang dicari ‘Umar—hal yang selalu Khabbâb lakukan. Ketika Khabbâb mendengar kedatangan ‘Umar, dia menyelinap ke bab belakang rumah, sedangkan adik wanita ‘Umar menyembunyikan shahifah tersebut. 

     Namun, ketika mendekati rumah, ‘Umar telah mendengar bacaan Khabbâb, karenanya dikala dia masuk eksklusif bertanya, “Apa gerangan bunyi bisik-bisik yang saya dengar dari kalian?”

     “Tidak ada, hanya perbincangan di antara kami,” jawab Fathimah dan suaminya. 

     “Tampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shabiah,” kata ‘Umar. 

     “Wahai ‘Umar! Bagaimana pendapatmu kalau kebenaran berada pada selain agamamu?” ujar Sa’id bin Zaid, suami Fathimah. 

     Mendengar itu, ‘Umar eksklusif melompat ke arah iparnya dan menginjak-injaknya dengan keras. Kemudian Fathimah tiba dan menolong sang suami, tetapi ‘Umar menamparnya hingga darah mengalir dari wajahnya (dalam riwayat Ibnu Ishâq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga terluka memar). 

     “Wahai ‘Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad yakni Rasulullah!” seru Fathimah. 

     ‘Umar mulai terpengaruh. Ia merasa frustasi dan jiwanya terguncang dikala menyaksikan kondisi adiknya yang berdarah. Dia menyesal dan merasa malu. 

     “Berikan kitab yang ada di tangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!” 

    “Sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh mcnyentuhnya melainkan orang-orang yang suci. Karena itu, bangun dan mandilah!” kata adik ‘Umar dengan lantang.

     Lalu ‘Umar bangun dan mandi. Lalu ia mengambil kitab tersebut dan membacanya, 

     “Bismilláhirrahmanirrahim. Sungguh nama-nama yang baik dan suci.”

     Kemudian dia melanjutkan bacaannya lagi. 

     Sesungguhnya Aku ini yakni Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatAku. (QS. Thahâ [20]: 14)

     ‘Umar melongo sejenak kemudian berkata lagi, “Alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa saya kehadapan Muhammad!” 

     Saat Khabbâb mcndengar ucapan ‘Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya.

     “Wahai ‘Umar, bergembiralah! Karena bergotong-royong saya berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis.” Lalu Khabbâb mengutip doa yang dibacakan Rasulullah saw. 

     “Ya Allah, muliakanhah dan kukuhkanlah Islam ini dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, ‘Umar bin Khaththâb atau Abü Jahal bin Hisyâm.”

    Seketika ‘Umar mengambil pedang dan menghunusnya, kemudian berangkat hingga tiba di rumah Rasulullah saw. Dia mengetuk pintu sebelum masuk. Seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu dan melihat ‘Umar menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw. Para sahabat seketika bersiaga. Gelagat mereka mengundang tanda tanya Hamzah. 

     “Ada apa gerangan dengan kalian?” tanya Hamzah. 

     “Umar!” jawab mereka. 

     “Oh, ‘Umar, bukakan pintu untuknya! Jika dia tiba dengan niat baik, kita akan membantunya. Namun, kalau dia tiba dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri,” kata Hamzah. 

     Saat itu Rasulullah saw masih berada di dalam rumah. Ketika diberi tahu perihal kedatangan ‘Umar, Rasulullah saw eksklusif bangun dan keluar menemui ‘Umar. Ketika telah berhadapan dengan ‘Umar, dengan cepat kedua tangan ia mencengkeram baju dan gagang pedang ‘Umar. 

     “Tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai ‘Umar! Hingga Allah menghina dan menimpakan tragedi sebagaimana yang terjadi dengan al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah! Inilah ‘Umar bin Khaththâb! Muliakanlah dan kukuhkanlah Islam dengan ‘Umar bin Khaththâb!” 

     ‘Umar gemetar. Ia sama sekali tak berdaya di hadapan Nabi Akhir Zaman itu. Seketika itu juga ‘Umar mengucap dua kalimat syahadat. 

     “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau yakni Rasulullah.” 

     ‘Umar pun masuk Islam dengan disambut pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar hingga Masjid alHaram (Tarikh ‘Umar bin Khaththb, Ibnu Hisyam). 

    ‘Umar merupakan sosok yang mempunyai rasa harga diri yang tinggi dan kalau sudah punya keinginan, tak ada seorang pun yang sanggup mencegahnya. Keislamannya menjadikan guncangan luar biasa di kalangan kaum musyrik dan menciptakan mereka patah arang, sedangkan bagi kaum Muslim, hal tersebut menambah harga diri, kemuliaan, dan kegembiraan. 

     Suatu hari, ‘Umar bertanya kepada beberapa penduduk Makkah.

      “Siapa yang paling baik dalam bicara?”

     “Jamil bin Ma’mar al Jahmi!” jawab mereka. 

      ‘Umar bergegas meninggalkan mereka menuju kediaman Jamil. 

     “Wahai Jamil! Sesungguhnya saya telah masuk Islam!” kata ‘Umar setibanya di rumah Jamil. Jamil hanya terdiam. Ia justru berjalan menuju Masjid al-Haram. Di sana, Jamil berteriak dengan lantang. 

     “Ibnu Khaththâb telah menjadi penganut ash-Shabiah.”

     ‘Umar yang dikala itu berada di belakangnya terkejut mendengarnya dan menjawab ocehan Jamil. 
“Dia bohong. Namun, saya telah masuk Islam, beriman kepada Allah, dan membenarkan Rasul-Nya.” 

     Orang-orang Quraisy yang gres mendengar keislaman ‘Umar berteriak riuh. Suasana menjadi hiruk pikuk. Tiba-tiba saja tanpa dikomando, mereka menyergap Umar. Kejadiannya berlangsung cepat. ‘Umar melawan dengan sekuat tenaga. Pertarungan seru terjadi dan gres selesai dikala matahari berada sempurna di atas kepala mereka. ‘Umar tampak kelelahan. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia hanya bisa duduk, sementara para pengeroyoknya bangun di erat kepalanya. 

     “Lakukanlah apa yang kalian suka! Aku bersumpah, kalau kami telah berjumlah 300 orang, kamilah yang akan melumat kalian atau kalian yang melumat kami,” ujar ‘Umar (Ibnu Hisyâm). 


AL-FARUQ
   Setelah memeluk Islam, ‘Umar bin Khaththâb menerima julukan al-Fâruq (tegas). Suatu hari, ‘Umar ditanya salah satu sahabat mengapa Ia menerima julukan tersebut. “Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dulu daripadaku,” jawab ‘Umar. Ia kemudian menceritakan kisah keislamannya. Pada bab final Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada di atas kebenaran. Mati ataupun hidup?” 

     “Tentu saja! Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, bergotong-royong kalian berada di atas kebenaran. Mati ataupun hidup.” 

     “Lalu untuk apa kita sembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar menampakkan diri,” desak ‘Umar. Nabi saw menjawab pertanyaan ‘Umar dengan membagi kaum Muslim menjadi dua barisan. Satu kelompok dipimpin oleh Hamzah, satu lagi dipimpin oleh ‘Umar bin Khaththâb. 

     Kedua kelompok bergerak menuju Masjid aI-Harâm. Setiba mereka di sana, mereka disambut orang-orang Quraisy yang tercengang melihat kedatangan kaum Muslim. Betapa tidak, mereka menyaksikan di antara kaum Muslim terdapat ‘Umar dan Hamzah. Orang-orang Quraisy dilanda kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sejak dikala itulah, Rasulullah saw menawarkan julukan aI-Faruq kepada ‘Umar. (Târikh ‘Umar bin Khaththtab). 

     Ibnu Mas’ud sering berkata, “Sebelumnya, kami tidak berani melaksanakan shalat di sisi Ka’bah hingga ‘Umar masuk Islam.” (Mukhtashar as-Sirâh, Syeikh ‘Abdullah al-Jundi). 

     Dan Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, dia berkata, “Ketika ‘Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri dan dakwah dilakukan secara terang-terangan. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melaksanakan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang garang kepada kami, serta membalas sebagian yang diperbuatnya.” (Târikh ‘Umar bin Khaththâb). 

     Dan ‘Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Kami senantiasa mencicipi ‘izzah (harga diri yang tinggi) semenjak ‘Umar masuk Islam. (HR. Bukhâri, Bab ‘Islamnya ‘Umar bin Khaththâb’)

Hiasan pada salah satu pedang Umar bin Khaththab ra Umar bin Khaththab Masuk Islam
Pedang Umar bin Khattab

     Setelah itu, kaum Quraisy dalam jumlah besar berangkat menuju rumah ‘Umar dengan maksud membunuhnya. Ketika itu ‘Umar berada di dalam rumah dalam keadaan waswas. Lalu tiba al-Ash bin Wâ’il as Sahmi Abu ‘Amru ke kediamannya dengan mengenakan mantel dan baju rnewah dan sutra. Ia yakni sekutunya ‘Umar semasa jahiliyah dari suku Bani Sahm.

     “Ada apa denganmu?” tanya al-Ash.
     “Kaummu mengaku akan membunuhku bila saya masuk Islam,” jawab ‘Umar.

     “Tidak mungkin mereka akan melaksanakan itu padamu. Engkau akan aman,” kata al-Ash kepada ‘Umar.

     Lalu al-Ash keluar dan bertemu dengan rombongan kaum Quraisy yang hendak menuju rumah ‘Umar.

     “Mau ke mana kalian?” tanya al-Ash.
     “Menemui Ibnu Khaththâb yang telah menjadi penganut ash-Shabiah,” jawab mereka.

     “Kalian tidak akan bisa melaksanakan hal itu terhadapnya,” ujar al-Ash.
     Jawaban itu menciptakan mereka berpikir sejenak. Mereka merenungkan apa yang dikatakan al-Ash. Tak usang kemudian, mereka memutuskan untuk pergi, tak jadi ke rumah ‘Umar. Mereka jadinya mengurungkan niat mernbunuh ‘Umar.

Hikmah ‘Umar bin Khaththâb Masuk Islam
     Pada masa jahiliyah, masuk Islamnya orang yang berwatak keras dan berpengaruh sangat diperlukan untuk mendukung dakwah. Oleh alasannya yakni itu, Rasulullah saw berjuang keras mengajak orang-orang menyerupai Abu Jahal dan ‘Umar bin Khaththâb memeluk Islam. Perjuangan Rasulullah saw ini harus diikuti para da’i untuk tidak mengabaikan usaha-usaha berdakwah kepada mereka yang mempunyai efek dan kekuatan di masyarakat. Dengan masuk Islamnya mereka, maka akan banyak pengaruhnya terhadap perkembangan dakwah Islam. Para penguasa yang semula ragu terhadap Islam, biasanya akan terpengaruh kalau ada orang yang berpengaruh dan ditakuti di kaumnya memeluk Islam.
     Fenomena kekerasan hati para penguasa terhadap pedoman Allah selalu terjadi, kapan pun dan di mana pun. Bahkan, al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dikala berbicara kepada orang-orang kafir yang telah disesatkan para pemimpin dan para pembesar mereka.
     Dengan demikian, dakwah tidak hanya ditujukan kepada kaum musyrik dan para pemimpinnya, tetapi juga kepada setiap orang dan pemimpin yang sedang melalui jalan yang sesat dan juga seorang pemimpin yang telah mengarahkan masyarakat atau rakyat pada jalan yang tidak direstui Islam.