Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tahun Dukacita

Abu Thâlib Wafat 
     Sakit Abu Thâlib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya. Tubuhnya makin lemah tak berdaya. Ia hanya bisa terbaring di daerah tidur. Malaikat maut tiba menghampiri. Di dikala itulah, Nabi saw mendampingi Abu Thalib. Namun Rasulullah saw tidak sendiri. Di sampingnya juga ada Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah. Muhammad saw menatap sedih pamannya tercinta. Orang yang selama ini setia dan tegar melindunginya, sekarang tidak berdaya. Terlintas di benak Nabi saw saar-saat Abu Thâlib berjuang melindunginya dari bahaya kaum Quraisy. Nabi saw tak ingin pamannya masih menjadi orang kafir dikala maut tiba menjemput. Karena itu, Rasulullah saw berusaha membimbing pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid. 

     “Wahai pamandaku! Katakanlah “La Ilaha Illallah”, kalimat ini akan saya jadikan hujjah untukmu di sisi Allah,” ujar Nabi saw. 

     Namun, Abu Jahal dan ‘Abdullâh bin Abi Umayyah segera memotong.

     “Wahai Abu Thâlib! Sudah bencikah engkau terhadap agama ‘Abdul Muthallib?” 

     Keduanya terus mendesak semoga Abu Thalib tak mengucapkan kalimat tauhid. Usaha mereka tak sia-sia. Abü Thâlib, di final hayatnya, berkata, “Aku masih tetap dalam agama ‘Abdul Muthallib.” 

     Rasulullah saw sedih melihat kenyataan itu.

    “Aku akan memintakan ampunan untukmu selama saya tidak dihentikan melakukannya,” kata Muhammad saw di hadapan badan Abu Thâlib yang telah terbujur kaku. 

lib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya Tahun Dukacita
Makam paman Nabi saw, Abu Thalib yang banyak membantu dakwah Islam

     Lalu turunlah ayat yang menjawab perkataan Rasulullah saw. 

     Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu ialah kaum kerabat(nya), sesudah terang bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalab penghuni neraka Jahannam. (QS. at- Taubah [9]: 113)

     Sesungguhnya kau tidak akan sanggup memberi petunjuk kepada orang yang kau kasihi. (QS. al-Qashash [28]: 56) (HR. Bukhâri). 

     Nabi saw tak sanggup menolong pamannya. Namun, ia sempat berujar, “Abu Thalib berada di neraka yang paling ringan, kalau bukan karenaku (karena perlindungannya kepadaku), pasti dia berada di neraka yang paling bawah.” (HR. Bukhâri). 

     “Semoga saja syafaatku bermanfaat baginya pada Hari Kiamat, kemudian dia ditempatkan di neraka paling ringan yang (ketinggian apinya) mencapai dua mata kaki (saja).” (HR Bukhâri). 

     Abu Thâlib wafat pada bulan Rajab tahun ke-10 Hijriah dari kenabian sesudah enam bulan keluar dari perkampungannya. Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan. (Mukhtashar as Sirah, Syekh ‘Abdullâh). 


Khadijah Meninggal Dunia 
     Awan sedih seolah enggan pergi meninggalkan langit Makkah. Hanya berselang tiga bulan dari wafatnya Abu Thâlib, Nabi saw kembali mendapatkan kabar yang menghantam relung hati. Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra’ meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 Hijniah dari kenabian dalam usia 65 tahun (Ibnu Jauzi menyampaikan wafatnya Khadijah pada bulan Ramadhan di tahun itu). 

     Menurut riwayat yang paling masyhur, Rasulullah saw ketika itu berusia 50 tahun. (at-Talqih). 
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi Rasulullah saw. Selama Khadijah hidup seperempat kala bersama beliau, dia senantiasa menghibur di dikala Nabi saw cemas, memperlihatkan dorongan di dikala kritis, menyokong penyampaian risalah beliau, ikut serta mcnghadapi rintangan yang menghadang jihad, dan selalu membela, baik dengan jiwa maupun hartanya. 

     Rasulullah saw tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Dia telah beriman kepadaku dikala insan tidak ada yang beriman, dia membenarkanku di dikala insan mendustakan, dia membantuku dengan hartanya dikala insan menahannya, Allah mengaruniaiku anak darinya, sementara Allah Ta’ala tidak memperlihatkan dari istri yang lainnya,” tutur Nabi saw mengenang istrinya tercinta (HR. Ahmad). 

     Untuk beberapa usang Rasulullah saw belum sanggup menghilangkan rasa dukanya. Seorang sahabat menasihati Muhammad saw. 

     “Tenangkanlah dirimu, wahai Rasulullah!” 

     Pernah ada seorang sahabat perempuan yang mengusulkan semoga Nabi saw menikah lagi. Mendengar usulan itu, Rasulullah saw eksklusif teringat Khadijah. 

     “Adakah seseorang yang lebih baik daripada Khadijah?” kata Nabi saw dengan sedih.

lib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya Tahun Dukacita
Makam Khadijah di Ma'la dahulu kala


     Kecintaan Muhammad saw kepada mendiang istrinya begitu mendalam. Itu terlihat ketika Rasulullah saw menyembelih kambing, bab pertama yang dikeluarkan dihadiahkan untuk para sahabat Khadijah. 

     “ini sebagai penghormatan atas jasa-jasa istriku tercinta,” kata Nabi saw. 

     Suatu ketika, Jibril mendatangi Rasulullah saw, yang memperlihatkan terhormatnya posisi Khadijah di mata Allah. 

     Wahai Rasulullah. Inilah Khadijah, dia telah tiba dengan membawa lauk-pauk, makanan, atau minuman. Bila dia nanti mendatangimu, sampaikan salam Tuhannya kepadanya serta beritakan kepadanya kabar besar hati tentang rumah untuknya di nirwana yang tidak ada kebisingan dan juga menguras tenaga di dalamnya.” (HR. Bukhâri). 


Kaum Quraisy Semakin Keji 
     Dua insiden kematian dalam wakru berdekatan menciptakan jiwa Nabi saw terguncang. Kesedihan terus memayungi dirinya. Apalagi kalau teringat kenangan indah bersama Abu Thâlib dan Khadijah. 

     Duka Rasulullah saw kian mendalam alasannya ialah kekejian kaum Quraisy yang semakin tak terkendali. Sepeninggal Abü Thâlib, mereka bertambah leluasa menyiksa nabi Muhammad saw. Tiada hari dilewati Nabi saw tanpa disakiti kaum musyrik. 

     Suatu saat, seorang begundal Quraisy menghampiri ia yang sedang berjalan sendirian menuju rumahnya. Setelah jarak antara keduanya semakin dekat, sang begundal eksklusif melemparkan abu ke wajah Rasulullah saw. Beliau terperanjat, tak menduga akan menerima perlakuan menyerupai itu. Wajahnya penuh dengan abu kotor, sementara sang begundal tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. 

     “Ha. ..ha. . .ha. . .ha...,” Tawa itu terdengar keras mengejek Rasulullah saw. 

     Tawa penuh olok-olokan itu tak dihiraukan nabi Muhammad saw. Beliau tak membalas perlakuan keji itu. Rasulullah saw menentukan pergi dengan mempercepat langkahnya menuju rumah. Begitu tiba, seorang anak perempuannya terkejut. Ia melihat wajah ayahnya dipenuhi debu. Muka ayahnya kotor tidak secerah biasanya. 

     Segera ia songsong ayahnya tercinta dan membersihkan abu yang menempel di muka ayahnya. Sang anak menangis melihat penderitaan yang dialami ayahnya. Namun, Nabi saw segera menghibur, tak ingin anaknya terus dirundung kesedihan. 

lib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya Tahun Dukacita
Makam Khadijah di Ma'la dikala ini

lib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya Tahun Dukacita
Makam Khadijah di Ma'la dikala ini

“Jangan menangis, duhai anakku! Sesungguhnya Allah yang akan menolong ayahandamu,” ujar Rasulullah saw lembut seraya mengelus kepala putrinya tercinta. 

MENIKAH DENGAN SAUDAH RA
Sepeninggal Khadijah, Nabi saw tak mempunyai pendamping hidup. Padahal, dengan usaha berat
yang harus dilakukannya, kehadiran seorang istri begitu mendesak. Setelah kesedihan berhasil disingkirkannya, Rasul memutuskan untuk menikahi Saudah binti Zam’ah pada bulan Syawal tahun 10 kenabian.
Saudah termasuk perempuan yang masuk Islam lebih dahulu, ikut serta dalam hijrah yang kedua ke Habasyah. Suaminya terdahulu berjulukan Sakrân bin ‘Amru yang juga masuk Islam dan berhijrah bersamanya, dan wafat di negeri Habasyah. Ada riwayat yang menyebutkan, dia wafat sepulangnya ke Makkah. Ketika dia sudah melewati masa ‘iddah, barulah Rasulullah saw melamar dan menikahinya. (Talqih Fuhim Ahlu al-Atsar). 
     Di tahun itu, kesedihan dan siksaan tiba beruntun, tak kenal henti. Inilah salah satu tahun terberat yang harus dijalani Rasulullah saw dan kaum Muslim selama di Makkah. Wafatnya Abu Thalib betul-betul dimanfaatkan kaum Quraisy untuk meneror Nabi saw dan kaum Muslim. 

     “Tidak pernah saya mendapatkan suatu perlakuan yang tidak saya sukai dari Quraisy hingga Abu Thâlib wafat,” kata Nabi saw (Ibnu Hisyâm). 

Masa itu, lengkap sudah penderitaan yang dialami Rasulullah saw. Masa-masa penuh ujian tersebut dikenal dengan “Tahun Dukacita” (Amul Huzni dalam buku-buku Sirah dan Tarikh). 

RASULULIAH SAW SEBAGAI SUAMI
‘Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara kesempurnaan doktrin orang-orang Mukmin ialah mereka yang paling elok akhlaknya dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya.” (HR Tirmidzi).
Suatu hari, Rasulullah saw mengajak istrinya, Ummu Sulaim, dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba, dikala sedang berjalan, seorang budak hitam berjulukan Anjasyah menghalau unta dengan keras. Melihat itu, Nabi saw segera bereaksi. “Wahai Anjasyah, berhati-hatilah. Bersikap lembutlah terhadap kaum wanita.” (HR. Muslim). 

lib kian parah semenjak utusan Quraisy mendatanginya Tahun Dukacita
Peta google memperlihatkan letak makam Khadijah, Ma'la dan Masjidil al Haram yang berjarak sekitar 1,59 km

Hikmah Tahun Dukacita Khadijah ialah perempuan ideal bagi Rasulullah saw. Ia istri salehah yang percaya akan kebenaran misi dakwah dan mendukung penuh usaha suaminya. Ia menjadi penyemangat bagi kesuksesan dan kemenangan dakwah.
Nabi saw mengalami sedih yang mendalam alasannya ialah kehilangan dua orang yang dicintainya: Abu Thâlib dan Khadijah. Saat Abu Thâlib meninggal, Rasulullah saw berkata, “Semoga Allah mencintai dan mengampunimu, tak henti-hentinya saya memohon ampunan untukmu, hingga Allah melarang aku.” Orang-orang Muslim pada mulanya mengikuti Rasulullah saw, mereka memintakan ampunan untuk orang-orang kafir yang telah meninggal. Lalu Allah berfirman, “Tidak pantas bagi Nabi saw dan orang-orang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) atas orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kerabatnya, sesudah terang bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahannam.”
Rasulullah saw sering mengenang keistimewaan Khadijah, memintakan rahmat untuknya, dan berbuat baik kepada teman-temannya. ‘Aisyah jadi cemburu, alasannya ialah ia sering memuji Khadijah walau Khadijah telah wafat.