Perkembangan Gerakan Keagamaan Pada Dinasti Umayyah, Lengkap!
![]() |
http://sejarahislamarab.blogspot.com |
Perkembangan Gerakan Keagamaan Pada Dinasti Umyyah - Pada masa Dinasti Umayyah, kita temukan cikal bakal gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan fondasi agama Islam. Pada paruh pertama era ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh populer berjulukan Washil ibn Atha’ (w. 748), pendiri mazhab rasionalisme kondang yang disebut Muktazilah. Orang Muktazilah (pembelot, penentang) menerima sebutan ini karenamendakwahkan pedoman bahwa siapa pun yang melaksanakan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir, dalam hal ini orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu.[1]
Muktazilah mempunyai lima pedoman dasar yang disebut Al-Ushul Al-Khamsah, yaitu at-Tauhid (pengesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al- nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).[2]
Gerakan keagamaan lainnya yakni Qadariyah, orang Qadariyah ini yakni mazhab filsafat Islam paling awal, dan besarnya imbas pemikiran mereka bisa disimpulkan dari kenyataan bahwa dua khalifah Umayyah, Mu’awiyah II, dan Yazid III, merupakan pengikut Qadariyah. Qadariyah yakni suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan insan tidak diintervensi oleh Tuhan. Salah satu iktikad mazhab Qadariyah ini yakni percaya bahwa insan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. Dalam hal ini sanggup difahami bahwa segala tingkah laris insan dilakukan atas dasar kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melaksanakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik ataupun berbuat jahat.
Sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang yakni Khawarij. Namun, kalau Muktazilah memelopori gerakan rasionalisme, khawarij menjadi pendukung utama puritanisme Islam. Jika Qadariyah dikenal sebagai mazhab pemikiran filosofis paling awal dalam Islam, khawarij merupakan sekte politik keagamaan paling awal. Penentang ‘Ali yang paling berbahaya, berulang kali melancarkan pemberontakan bersenjata untuk menuntut hak istimewa orang Qurays untuk menduduki jabatan kekhalifahan.
Sekte lainnya, yakni Murji’ah, yang mengandung iktikad irja’, yaitu penagguhan eksekusi terhadap orang beriman yang melaksanakan dosa, dan mereka tetap dianggap muslim. Secara umum, pedoman pokok Murji’ah berkisar pada toleransi. Representasi paling konkret dari sayap moderat mazhab ini yakni Abu Hanifah (w. 767), yang merupakan pendiri pertama dari empat mazhab aturan Islam sunni.
Kelompok lainnya, yaitu Syi’ah, merupakan salah satu kubu Islam pertama yang berbeda pendapat dalam problem kekhalifahan. Para pengikut Ali ini membentuk kelompok yang solid pada masa Dinasti Umayyah. Sistem Imamah menjadi unsur pembeda antara kaum Sunni dan kaum Syi’ah sampai dikala ini. Kegigihan kaum Syi’ah dengan keyakinan utama mereka terhadap ‘Ali dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, yang berbeda dengan keyakinan Gereja Kristen Romawi ihwal Peter dan para penerusnya.
Jika pendiri Islam menyebabkan wahyu, al-qur’an, sebagai media penghubung antara Tuhan dan manusia, maka orang Syiah menyebabkan manusia, yaitu para imam sebagai penghubung. Orang Syiah menambahkan satu rukun iman yaitu “Saya percaya bahwa imam yang dipilih secara khusus oleh Allah sebagai pembawa ruh Tuhan yakni pemimpin yang akan membebaskan”.
Institusi imamah merupakan bentuk penentangan teoritis terhadap konsep sekuler ihwal kekuasaan. Menurut teori imamah, yang berbeda dengan pandangan sunni, seorang imam merupakan pemimpin komunitas Islam satu-satunya yang sah, dan ditunjuk oleh Tuhan untuk memegang kekuasaan tertinggi. Ia mempunyai jalur keturunan pribadi dari Muhammad melalui Fathimah dan ‘Ali. Seorang imam yakni pemimpin agama dan spiritual, sekaligus sebagai pemimpin dalam urusan dunia. Ia dianugerahi kekuatan terembunyi yang diwariskan oleh pendahulunya. Dengan demikian, kedudukannya jauh lebih tinggi daripada insan biasa, dan terbebas dari kesalahan (‘ishmah). Kelompok ekstrem Syi’ah bahkan beropini dengan menyampaikan bahwa para imam, alasannya mempunyai hakikat Ilahi dan kecerdasan yang tinggi, merupakan inkarnasi Tuhan. Menurut mereka, ‘Ali, dan para imam keturunannya merupakan wahyu Tuhan yang turun dalam wujud manusia. Kelompok ultra Syi’ah pada masa belakangan bahkan berpandangan bahwa Jibril keliru memberikan wahyu kepada Muhammad, yang seharusnya kepada ‘Ali. Dalam semua ini, iktikad kelompok Syi’ah berseberangan dengan iktikad Sunni.[3]
itulah Perkembangan Gerakan Keagamaan Pada Dinasti Umyyah, biar bermanfaat dan untuk mengetahui isu yang lain,
baca: gerakan oposisi terhadap bani umayyah
[1] Ibid, 306
[2] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007) 80.
[3] Philip K. Hitti, History Of the Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013) hal. 309-311.